
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) menyelenggarakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dalam rangka penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Senin (5/5/2025).
Forum ini menjadi ruang diskusi penting bagi penyusunan arah kebijakan pembangunan lima tahun ke depan, di tengah tantangan fiskal dan keterbatasan kewenangan daerah.
Ketua DPRD Provinsi Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, menyebut agenda Musrenbang ini seharusnya telah digelar sejak pertengahan April sesuai dengan Permendagri Nomor 86 Tahun 2017.
“Memang dalam undang-undang itu wajib dilakukan Musrenbang Provinsi. Saya kira ini agak telat. Seharusnya minggu kedua April, tapi baru dilaksanakan awal Mei karena satu dan lain hal,” ujarnya di Pendopo Odah Etam, Komplek Kantor Gubernur Kaltim, jalan Gajah Mada, Samarinda.
Terkait dukungan legislatif terhadap program prioritas Gubernur Kaltim, seperti GratisPol (pendidikan gratis dan pelayanan kesehatan gratis), Hasanuddin menegaskan bahwa DPRD berada dalam posisi mendukung. Namun, ia mengingatkan soal keterbatasan fiskal yang menjadi tantangan utama.
“Kita mendukung program prioritas Pak Gubernur yang juga sejalan dengan RPJMD nasional. Tapi yang mungkin jadi masalah adalah penurunan APBD kita karena dana bagi hasil (DBH) menurun,” jelasnya.
Hamas, sapaan akrabnya, merinci bahwa DBH Kaltim mengalami penurunan signifikan yang membuat APBD turun dari yang awalnya kira-kira sekitar Rp20 triliun menjadi Rp18 triliun. Bahkan, DBH itu tak sepenuhnya dikelola oleh provinsi, karena harus dibagi lagi dengan 10 kabupaten/kota lainnya.
“Diperkirakan, APBD Kaltim untuk tahun 2026 itu sekitar Rp18 triliun. Artinya, ke depan kita harus lebih efisien lagi. Termasuk pertemuan seperti Musrenbang hari ini yang biasanya digelar di luar, sekarang dipusatkan di Lamin Etam,” terangnya.
DBH Perkebunan Hanya Rp38 Miliar
Sebelumnya, Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud menyampaikan sejumlah persoalan struktural yang membelenggu kemampuan fiskal daerah, mulai dari ketergantungan terhadap dana transfer hingga minimnya kewenangan pengelolaan sumber daya alam.
“Kita setuju untuk mengurangi ketergantungan dana transfer, tapi tolong juga dong diberikan kewenangannya. Hampir semuanya sudah terpangkas. Contoh batubara, ini bukan punya orang Kaltim lagi, bahkan bukan punya orang Indonesia,” katanya.
Ia juga menyinggung minimnya kontribusi DBH dari sektor-sektor strategis, seperti sawit dan migas.
“Luas kebun kita sekitar 3 juta hektare, yang sudah berproduksi hampir kurang lebih 1,5 juta hektare. Tapi DBH dari perkebunan hanya Rp38 miliar, bukan triliun. Ini catatan supaya kita tahu sama tahu,” bebernya.
“Begitu juga dengan migas, PI (Participating Interest) yang seharusnya wajib bagi daerah, baru PHM yang memberikannya, itu pun juga masih tertunggak. Kalau kata pak asisten sekitar USD 10 juta, dan dia memberikannya Rp235 miliar per tahun,” tambahnya.
Menurutnya, perlu evaluasi serius terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah agar provinsi dan kabupaten/kota dapat diberikan ruang inovasi dan tidak terus bergantung pada dana transfer pusat.
“Banyak sekali kebijakan pusat yang kita bingung. Ini harus jadi catatan penting, supaya otonomi daerah benar-benar bisa dijalankan, dan kepala daerah bisa membuat terobosan tanpa melanggar undang-undang,” tegasnya.
Musrenbang RPJMD ini menjadi penentu arah pembangunan Kaltim di masa pemerintahan Rudy Mas’ud – Seno Aji, sekaligus ujian bagi efektivitas desentralisasi fiskal di daerah yang kaya sumber daya namun sangat terbatas kewenangannya.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan | ADV DPRD Kaltim
Tag: Musrenbang Kaltim