Catatan Rizal Effendi
SAYA bertemu seorang pengusaha senior dari Balikpapan beberapa pekan lalu dalam acara APINDO Kaltim. Dia mengomel habis-habisan soal pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), yang belakangan diganti dengan istilah Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Dia mengaku kesal urusannya ribet dan memakan waktu yang lama.
“Apa gunanya ada kantor perizinan terpadu dan OSS? Buktinya, kita harus lagi datang ke instansi lain. Sudah ke sana kemari, lama lagi,” katanya dengan mata melotot.
Terus terang saya tak bisa menjawab apa yang dia keluhkan saat itu. Karena kebijakan PBG terbilang baru. Waktu saya masih menjadi Wali Kota, urusan izin membangun rumah, kantor, ruko dan gedung lainnya masih dengan IMB.
Keluhan yang sama tempo hari juga disampaikan anak muda yang sering mendampingi saya. Dia lagi membangun rumah kecil 6 kali 6 di Balikpapan Regency. Lalu mengurus PBG-nya. Dia bingung banyak instansi yang harus didatanginya. Dari kantor Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMP2T), kemudian harus ke kantor Dinas Pertanahan dan Penataan Ruang Kota (DPPR), kemudian ke kantor Dinas Pekerjaan Umum (DPU) dan terakhir kembali ke BPMP2T.
Itu tidak bisa diselesaikan satu dua hari. Ada indikasi berbulan. Dia juga sebelumnya harus berurusan dengan tetangga, ketua RT, dan Lurah. Lalu harus mencari konsultan ahli bersertifikat. Kalau tidak, gambar dan perhitungan teknisnya tidak bisa dibahas oleh Tim Ahli Bangunan (TABG) atau Tim Pemeriksa Ahli (TPA), yang menunggu di DPU.
Walaupun nanti pendaftaran resminya melalui aplikasi simbg.go.id, toh dalam berbagai pengurusan dokumen yang dibutuhkan di beberapa instansi tersebut tetap harus dilakukan dengan tatap muka. Misalnya, dia harus mendapatkan surat keterangan rencana kota (KRK) dari DPPR, harus diawali dengan peninjauan ke lapangan.
“Waduh ternyata sekarang susah, Pak,” kata anak muda tersebut.
Masalah pengurusan PBG yang ribet, sebenarnya sudah disuarakan Komisi I DPRD Balikpapan, Agustus tahun lalu. Mengutip pemberitaan Busam.ID, Ketua Komisi I Laisa mengungkapkan adanya keluhan masyarakat soal pengurusan PBG yang memakan waktu terlalu lama dan adanya persyaratan yang terlalu memberatkan di antaranya kewajiban menyertakan persyaratan konsultan yang diminta DPU.
Karena itu, Komisi I mendesak Pemkot membuat regulasi yang bisa mempercepat proses pembuatan PBG. Selain memudahkan masyarakat dan pelaku usaha dalam memenuhi izin tempat usaha, juga berdampak dalam peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan pertumbuhan ekonomi.
Keluhan masyarakat soal PBG pengganti IMB ternyata sudah sampai ke telinga Presiden Jokowi. Berarti masalahnya memang sudah menasional atau terjadi di seluruh daerah. Hal itu dia ungkapkan di depan seluruh kepala daerah se-Indonesia, yang mengikuti Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah se-Indonesia di Sentul City, Bogor, Selasa (17/1) lalu.
“Namanya kok gonta-ganti dan ruwet? Cukup namanya dua kata saja, Izin Gedung, sudah!!” kata Presiden dengan mimik serius.
Menurut Kepala Negara, bukan nama yang penting, tetapi yang dibutuhkan masyarakat, terutama kalangan investor adalah proses pengurusan izin yang bisa rampung dengan segera.
“Jadi penyelesaiannya yang cepat, bukan namanya yang harus gonta-ganti,” tandasnya.
Berkaitan dengan hal ini, Jokowi menginstruksikan gubernur, bupati, dan wali kota segera menyelesaikan masalah ini. “Silakan segera dibenahi,” begitu perintahnya.
PBG sendiri sebenarnya telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. PP itu ditandatangani langsung oleh Presiden Jokowi tanggal 2 Februari 2021.
PP Nomor 16 Tahun 2021 merupakan regulasi turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UUCK, terutama Pasal 24 dan Pasal 185 huruf b. IMB atau PBG sebenarnya tujuannya sama. Memberikan izin kepada siapa pun yang ingin mendirikan atau mengubah bangunan. Hanya PBG penekanannya pada standar teknis bangunan gedung.
JUGA PUSING
Beberapa kepala daerah mengaku pusing juga dengan diterapkannya PP 16, yang menimbulkan banyak keluhan masyarakat. PP itu dinilai tujuannya baik, tapi dalam pelaksanaannya diakui memang ribet sehingga seolah-olah Pemda yang mempersulit pengurusan PBG.
Sudah dituding mempersulit, kata seorang kepala daerah, ada lagi dampak lain yang dialami Pemda, yaitu pendapatan asli daerah (PAD) dari retribusi izin bangunan juga menurun. Karena orang tak gampang dapat PBG. Jadi seperti kata pepatah, sudah jatuh ketimpa tangga.
Karena itu agak aneh kalau dalam masalah ini Jokowi “menembak” kepala daerah. Karena yang membuat regulasi PBG dari Pemerintah Pusat. Tapi bisa jadi Presiden ingin mengingatkan semua instansi yang mengurusi, baik di daerah maupun di pusat agar melakukan evaluasi bersama-sama sehingga PBG bermanfaat dan bukan jadi penghambat.
Salah satu masalah krusial dalam pengurusan PBG adalah kewajiban pemohon menggunakan tenaga konsultan bangunan yang bersertifikat. Tidak seperti dalam pengurusan IMB, cukup dari tenaga yang berpengalaman sepanjang bisa menggambar dan menghitung.
Bagi pemohon pendirian bangunan besar seperti kompleks perumahan, gedung bertingkat tentu hal ini tidak terlalu masalah. Mereka sudah tahu kewajibannya. Tapi bagi pemohon rumah kecil atau bangunan sederhana, benar-benar ribet dan tidak gampang terutama soal mendapatkan konsultan bersertifikat termasuk urusan biayanya.
Saya mendengar waktu Dirjen Perumahan Kementerian PUPR datang ke Balikpapan tahun lalu, sejumlah daerah di Kaltim termasuk Pemkot Balikpapan sudah menyampaikan persoalan ini. Mereka mengusulkan dilakukan klasifikasi dan pengecualian bagi bangunan berskala kecil atau pemohon yang berpendapatan rendah. Tapi waktu itu Dirjen mengatakan pihaknya masih melakukan pembahasan lebih lanjut.
Dalam PP 16, pemohon PBG memang mendaftar dulu melalui simbg.do.id dengan menyiapkan dokumen data pemohon, data bangunan gedung dan dokumen rencana teknis.
Dalam menyiapkan data bangunan gedung dan dokumen rencana teknis, pemohon harus berhubungan dengan konsultan perencana. Dia yang membantu pemohon menyiapkan rencana teknis yang dibutuhkan. Lalu dibahas atau diperiksa oleh tim yang bernama Tim Penilai Teknis (TPT) atau Tim Penilai Ahli (TPA).
TPT yang melakukan pemeriksaan untuk bangunan gedung berupa rumah tinggal tunggal satu lantai dengan luas paling besar 72 meter persegi dan rumah tinggal tunggal dua lantai dengan luas lantai paling banyak 90 meter persegi.
Sedang TPA yang akan melakukan pemeriksaan atas dokumen rencana teknis untuk bangunan gedung selain dari bangunan gedung yang diperiksa oleh TPT. Yang dinilai adalah dokumen rencana arsitektur dan dokumen rencana struktur, mekanikal, elektrikal dan perpipaan (plumbing).
Apabila dokumen telah memenuhi seluruh persyaratan teknis, maka dinas terkait (DPU) akan mengeluarkan rekomendasi untuk penerbitan pernyataan tertulis kepatuhan terhadap persyaratan teknis. Rekomendasi tersebut juga akan menentukan biaya wajib yang harus dibayarkan pemohon.
Selanjutnya BPMP2T akan menetapkan nilai retribusi daerah. Setelah proses pembayaran retribusi dilakukan pemohon, maka baru dilakukan penerbitan PBG.
PBG bisa dicabut di antaranya kalau pemohon dalam waktu tertentu tidak melakukan pembangunan atau ternyata melakukan penyimpangan dan perubahan dari dokumen teknis yang sudah ditetapkan. Bisa juga ditegur, tapi bisa juga sampai tahap pembongkaran paksa terhadap bangunan yang dibangun.
Kelihatannya normal-normal saja proses permohonan atau penerbitan PBG. Tapi dalam praktiknya banyak faktor kesulitan yang dihadapi pemohon. Karena itu memang PP 16 serta kebijakan Pemda dalam masalah ini harus dibahas kembali seperti harapan Presiden.
Menurut saya, soal izin atau meminta tanda tangan tetangga, RT dan Lurah cukup diwakili RT saja. Juga permintaan surat KRK dari DPPR ditiadakan saja. Itu urusan ke dalam Pemda. Ketika pemohon mengajukan permohonan PBG ke DPMP2T, otomatis DPPR memberikan masukan apakah permohonan bisa diproses atau tidak berkaitan dengan tata ruang. Jadi tidak usah pemohon yang datang ke sana.
Yang repot juga soal berhubungan dengan konsultan perencana. Mungkin dalam kasus TPT, yang terpenting dari pemohon bisa menyajikan data teknis yang dibutuhkan.
Konsultannya boleh saja dari tenaga berpengalaman walaupun tidak memiliki sertifikat keahlian. Kemudian ada standar biaya. Supaya konsultan tidak semena-mena menentukan tarif karena sekarang sangat dibutuhkan. Apalagi kalau konsultan perencananya terbatas atau tidak banyak.
Pemda juga harus mematok dan memberikan keyakinan kepada pemohon bahwa masa proses PBG bisa selesai beberapa hari. Satu minggu, dua minggu atau satu bulan. Jadi mudah mengevaluasi jika tak sesuai target waktu. Biar petugas atau staf yang mengurusi masalah ini juga punya komitmen tinggi dalam memprosesnya. Waktu IMB dulu, kalau tidak salah 14 hari kerja.
Juga yang perlu diwaspadai dan diperhatikan aspek pengawasan proses PBG. Tidak tetutup kemungkinan pemohon harus mengeluarkan biaya ekstra alias biaya tidak resmi demi kelancaran dan kecepatan penerbitan PBG-nya.
Untuk kepentingan investor seperti yang ditekankan Presiden Jokowi, Pemda harus menyadari betul bahwa kecepatan penerbitan PBG juga berdampak positif terhadap investasi. Jika sebuah industri cepat dilaksanakan, maka multiplier effects-nya sangat banyak dan beruntun. Mulai pembukaan lapangan kerja, kemajuan dunia usaha sampai pemasukan negara atau daerah melalui pajak.
Istilah PBG memang tidak lazim. Saya kira PBG itu, Persetujuan Beli Gas. Kita sudah berpuluh tahun akrab dengan nama IMB. Tak salah kalau Presiden Jokowi akhirnya bemamai atau mengomel. Walaupun PBG dia juga yang menandatanganinya. (*)
Tag: BalikpapanRizal EffendiSamarinda