Kekerasan Ekstremisme Mengancam AS, Suami Ketua DPR Diserang Di Rumahnya

Paul dan Nancy Pelosi. (FOTO GETTY IMAGES via BBC News Indonesia)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Serangan kekerasan kepada Paul Pelosi, suami Ketua Dewan Perwakilan AS Nancy Pelosi, terjadi nyaris sepekan sebelum pemilu paruh waktu AS. Ini adalah momen ketika tensi politik semakin memanas.

Seakan memperkuat pernyataan ini, beberapa jam setelah serangan terhadap Paul terjadi pada Jumat, pemerintah AS membagikan buletin kepada penegak hukum di seluruh negeri.

Isinya memperingatkan adanya “ancaman yang semakin meninggi” kekerasan ekstremisme domestik kepada para kandidat dan petugas pemilu oleh individu-individu yang memiliki “kedukaan ideologi”.

Juga pada Jumat, Kementerian Pertahanan AS mengumumkan seorang pria dari Pennsylvania mengaku bersalah telah mengancam seorang anggota kongres – anggota kongres Demokrat Eric Swalwell dari California, menurut sejumlah laporan – melalui telepon beberapa kali.

Dia mengancam staf kantor Swalwell di Washington, bahwa dia akan mendatangi Gedung Capitol dengan senjata api.

Berbagai ancaman ini menjadi pertanda bahaya yang menghadang sebelum Partai Demokrat dan Republik bertarung dalam pemilihan umum paruh waktu, yang akan menentukan partai mana yang berkuasa di Kongres tahun depan, sebuah momen penting dalam sejarah AS.

Partai Republik memperingatkan bahwa ini adalah kesempatan terakhir untuk menjegal kepresidenan Joe Biden dari partai Demokrat.

Sementara Partai Demokrat berkata, demokrasi AS menjadi pertaruhan, karena sejumlah kandidat anggota Partai Republik sebelumnya terang-terangan menolak hasil pemilu presiden 2020.

Retorika ini memuncak, setelah setahun terakhir kekerasan – termasuk ancaman kekerasan – terus terjadi.

Apa yang terjadi kepada Paul Pelosi?

Paul Pelosi, 82 tahun, saat ini sedang memulihkan diri dari operasi setelah serangan orang tak dikenal di rumahnya dengan palu.

Ia menderita tulang tengkorak retak dan beberapa luka serius di lengan dan tangan kanan.

Tersangka, seorang pria yang berusia 42 tahun, dikatakan menuntut untuk bertemu Nancy Pelosi setelah menerobos ke rumah mereka di San Fransisco.

Sejauh ini, apa motif pria tersebut belum ditetapkan. Dia telah ditangkap dan didakwa, salah satunya dengan pasal percobaan pembunuhan.

Dalam konferensi pers, Kepala Polisi San Fransico William Scott mengatakan petugas merespon panggilan telepon pada pukul 02.27 waktu setempat pada Jumat dini hari.

Mereka menemukan Paul Pelosi dan penyerangnya – yang disebut polisi bernama David DePape – bergelut memperebutkan sebuah palu. Penyerang merebut palu itu dari Pelosi dan menggunakannya untuk memukul Pelosi.

Rumah keluarga Pelosi di San Fransisco setelah serangan. (FOTO GETTY IMAGES via BBC News Indonesia)

Penyerang itu segera diringkus oleh polisi. Dia mengaku berniat untuk mengikat Paul “sampai Nancy pulang”, kata sumber polisi kepada CBS News.

Dia juga dikatakan berulang kali menanyakan “di mana Nancy?” saat melakukan serangan.

Saat penyerang itu masuk rumahnya, Paul Pelosi berkata ia harus ke kamar mandi, dan melakukan panggilan telepon ke 911 secara sembunyi-sembunyi.

“Ini bukan serangan acak,” kata Scott. “Serangan ini terencana.”

BBC menemukan sebuah blog, situs, dan akun media sosial dengan nama DePape penuh dengan unggahan meme anti-Semit, penyangkalan holokos, referensi situs sayap-kanan, dan teori konspirasi seperti QAnon.

Nancy Pelosi, yang pada saat serangan terjadi berada di Washington DC, langsung terbang ke rumah sakit untuk mendampingi sang suami.

Banyaknya ancaman pembunuhan

Massa pro-Trump menyerang Gedung Capitol pada 6 Januari. Diperkirakan tensi politik semakin memanas jelang pemilu paruh waktu AS beberapa hari mendatang. (FOTO GETTY IMAGES via BBC News Indonesia)

Di Arizona, dilaporkan sejumlah individu bertopeng yang membawa senjata api menjaga ketat kotak-kotak suara, untuk memonitor kemungkinan kecurangan terjadi.

Mereka juga mengunggah foto-foto orang sedang mencoblos ke media sosial sayap kanan, dan mengajak orang lain untuk bergabung.

Pada Juni, seorang pria ditahan di rumah Hakim Agung Brett Kavanaugh.

Pria itu diketahui datang ke Washington dari California dan menelepon polisi setelah sampai ke ibu kota, mengaku ia memiliki senjata api dan bermaksud membunuh hakim konservatif tersebut.

Di bulan selanjutnya, kandidat Republik untuk menjadi gubernur, Lee Zeldin, diserang di atas panggung saat kampanye.

Anggota kongres Pramila Jayapal, pemimpin liberal di Partai Demokrat, diancam oleh seorang pria dengan pistol di luar kediamannya di Seattle.

Pria tersebut kemudian didakwa atas tuduhan menguntit.

Anggota kongres Republik Marjorie Taylor Greene telah enam kali memanggil polisi ke rumahnya karena ancaman-ancaman melalui telepon, yang belakangan diketahui hoaks.

Praktik ini, yang disebut dengan “swatting”, biasa dilakukan untuk memprovokasi konfrontasi antara target dengan penegak hukum.

Greene juga sudah beberapa kali menjadi target ancaman pembunuhan.

Marjorie Taylor Greene melambaikan tangan kepada pendukungnya di kampanye Trump. (FOTO GETTY IMAGES via BBC News Indonesia)

Kekerasan partisan – dan ancaman-ancaman terkait itu – bukan barang baru dalam politik Amerika.

Kekerasan paling berdarah terjadi lima tahun lalu, ketika seorang pria dengan banyak senjata api menembaki sejumlah politisi Partai Republik yang sedang bermain baseball di taman kota.

Lima orang terluka, salah satunya kritis.

Mengamankan para politisi

Data yang dirilis oleh Kepolisian Capitol AS memperlihatkan bahwa kekerasan seperti ini terus meningkat.

Jumlah ancaman terhadap anggota Kongres terus naik setiap tahun sejak 2017.

Di tiga bulan pertama 2022, polisi telah mencatat terjadinya lebih dari 1.800 insiden.

Merespon hal ini, Kepolisian Capitol mengumumkan pada Juli, mereka akan mengeluarkan dana tambahan sebesar US$10.000 atau Rp155,5 juta untuk memperbarui keamanan di rumah para anggota Kongres.

AS memiliki 435 anggota Kongres. Mereka secara rutin melakukan perjalanan dari dan ke rumah mereka di sekitar Washington, ke ibu kota dan ke wilayah asal mereka.

Dengan pola ini, para pelaku kekerasan bisa saja menemukan cara untuk menyerang politisi yang mereka targetkan – atau keluarganya.

Ketika Paul Pelosi diserang, dia berada ribuan kilometer jauhnya dari Washington, dan tidak ada pengamanan dari polisi yang disediakan untuknya di rumah mereka di San Fransisco.

Dia memang bukan target utama, namun dia turut menjadi korban.

Sebelum menyerang, tersangka dilaporkan bertanya, “Di mana Nancy?” – kalimat ini mengingatkan lagi akan serangan di Gedung Capitol pada 6 Januari, ketika seorang pria berteriak di lorong: ”Di mana kamu, Nancy? Kami mencarimu.”

Para politisi dari kedua kubu partai yang terbelah telah menyampaikan rasa prihatin atas serangan terhadap Paul Pelosi dan mengimbau masyarakat untuk mendinginkan tensi. Ini, tentu saja, lebih mudah dikatakan ketimbang dilakukan.

Dengan populasi yang terbelah karena media sosial dan pemberitaan yang memperkuat keyakinan serta ketakutan politik mereka, godaan untuk melakukan kekerasan ekstremisme akan terus ada.

Dan kalau orang-orang ini bertekad untuk menemukan politisi-politisi yang mereka baca dan lihat di televisi – yang disebut sebagai musuh negara dan ancaman terhadap demokrasi – mereka akan dengan mudah menemukan target mereka.

**) Artikel ini bersumber dari BBC News Indonesia yang sudah tayang dengan judul; “Paul Pelosi diserang: Bukti kekerasan ekstremisme yang mengancam AS.”

Tag: