SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Angka prevalensi stunting Provinsi Kalimantan Timur mengalami peningkatan pada tahun 2022, dari 22,8 persen pada tahun 2021 (SSGI) menjadi 23,9 persen pada tahun 2022 (SSGI). Angka ini lebih tinggi dari angka prevalensi stunting rata-rata nasional yang sebesar 21,6 persen.
Kenaikan prevalensi stunting ini disebabkan terjadinya peningkatan prevalensi stunting pada beberapa kabupaten/kota di Kalimantan Timur antara lain Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Samarinda, Kabupaten Paser, Kabupaten Kutai Barat, dan Kota Balikpapan.
Jika dilihat berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 2022, Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki prevalensi anak stunting tertinggi, hingga 27,1 persen. Kemudian disusul Kota Samarinda sebesar 25,3 persen.
Selanjutnya, Kabupaten Paser 24,9 persen, Kabupaten Kutai Timur 24,7 persen, Kabupaten Kutai Barat 23,1 persen, Kabupaten Penajam Paser Utara 21,8 persen, Kabupaten Berau 21,6 persen, Kota Bontang 21,0 persen, Kota Balikpapan 19,6 persen, dan yang paling rendah adalah Kabupaten Mahakam Ulu sebesar 14,8 persen.
“Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menargetkan bahwa pada tahun 2024, prevalensi stunting Kalimantan Timur turun menjadi 14 persen. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan koordinasi, kolaborasi, dan juga kerjasama berbagai pihak. Dalam hal ini, pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menganggarkan sekitar Rp3,7 miliar dari APBD Tahun 2024 untuk berbagai upaya menangani stunting,” ungkap Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Timur (Kaltim), Dr. Yusniar Juliana, S.ST, MIDEC dalam laporan berjudul “Analisis Isu Terkini Provinsi Kalimantan Timur 2023” yang dipublish Desember 2023.
Menurut BPS Kaltim, kondisi sosial ekonomi memiliki pengaruh yang signifikan pada prevalensi dan keberlanjutan masalah stunting di suatu masyarakat. Ketidaksetaraan dan keberagaman kondisi sosial ekonomi menjadi salah satu faktor meningkatnya kasus stunting.
“Masyarakat yang hidup dalam kondisi sosial ekonomi rendah sering kali dihadapkan pada keterbatasan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan anak-anak mereka,” Yusniar menjelaskan.
Keterbatasan finansial membuat akses terhadap makanan bergizi, layanan kesehatan, dan fasilitas sanitasi yang memadai menjadi terhambat.
Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat akses masyarakat terhadap layanan kesehatan menurut kabupaten/kota adalah persentase wanita usia subur (15-49 tahun) yang pernah kawin dan melahirkan hidup dan dibantu oleh penolong persalinan.
Kabupaten Kutai Barat adalah kabupaten dengan jumlah persentase wanita usia subur melahirkan hidup dibantu oleh tenaga tradisional terbanyak yaitu 5,28 persen, kemudian diikuti oleh Kabupaten Penajam Paser Utara sebesar 4,40 persen, Kabupaten Kutai Timur sebesar 2,08 persen, dan Kabupaten Kutai Kartanegara sebesar 2,07 persen.
Keempat kabupaten tersebut juga merupakan kabupaten yang memiliki prevalensi stunting cukup tinggi pada tahun 2022. Melahirkan dibantu oleh dukun beranak atau bidan tradisional tanpa pendidikan dan pelatihan formal dapat membawa risiko serius bagi kesehatan ibu dan bayi.
“Dukun beranak mungkin tidak memberikan pemantauan prenatal yang memadai kepada ibu hamil. Pemantauan prenatal yang kurang dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk mendeteksi dan mengatasi masalah kesehatan sejak dini.”
Keberlanjutan penggunaan layanan kesehatan oleh ibu dan anak, terutama selama 1.000 hari pertama kehidupan anak, menjadi faktor penting dalam pencegahan stunting.
Selain akses terhadap layanan kesehatan, faktor lingkungan juga memiliki pengaruh yang cukup penting dalam stunting. Ketersediaan sanitasi layak dan air bersih merupakan indikator yang digunakan untuk melihat pengaruh lingkungan dalam stunting.
Sanitasi yang layak berkontribusi pada pertumbuhan anak yang sehat sehingga memainkan peran penting dalam mencegah keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan pada anak.
Hal ini dapat dilihat pada Kabupaten Paser yang merupakan salah satu Kabupaten dengan angka prevalensi stunting cukup tinggi di Kalimantan Timur pada tahun 2022. Berdasarkan data pada tahun 2022, Kabupaten Paser adalah kabupaten dengan persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak paling rendah yaitu 82,29 persen.
Kabupaten lainnya yang juga memiliki persentase rumah tangga dengan sanitasi layak rendah lainnya adalah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Berau dengan masing-masing persentase 86,77 persen dan 87,44 persen.
Sebagai catatan, sejak tahun 2019, konsep yang digunakan mengacu pada metadata SDGs dimana rumah tangga dikatakan memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak apabila rumah tangga memiliki fasilitas tempat Buang Air Besar (BAB) yang digunakan sendiri atau bersama rumah tangga tertentu (terbatas) ataupun di MCK Komunal, menggunakan jenis kloset leher angsa, dan tempat pembuangan akhir tinja di tangki septik.
Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan
Tag: Stunting