Kisah Bocah SD Temani Ibunya Seorang Tuna Netra Berjualan di Alun-alun Nunukan

Wadelo dan putrinya Nursela berjualan roti bantal di alun-alun kota Nunukan, Rabu 5 Juli 2023 (Budi Anshori/niaga.asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA — Terik sinar matahari begitu menyengat siang ini di Nunukan, utara Kalimantan. Di pinggir jalan terlihat seorang bocah perempuan menggenggam pegangan payung, meneduhkan ibunya seorang tuna netra. Bocah itu menemani ibunda tercinta menjajakan kue di tengah lalu lalang kendaraan di Jalan Alun-alun, Nunukan.

Anak perempuan itu bernama Nursela, berusia 9 tahun, yang kini duduk di bangku Sekolah Dasar di Nunukan.

Nursela menjadi penunjuk arah perjalanan dari rumahnya Jalan Pelabuhan Nunukan, menuju lokasi jualan dan sekaligus ‘sebagai mata’ bagi ibunya, untuk menghitung uang hasil jualan dan uang kembalian pembeli.

“Nama saya Wadelo, ini anak saya Nursela masih sekolah kelas II di SDN 04 Nunukan,” kata Wadelo, ibunda Nursela, mengawali perbincangan bersama niaga.asia, Rabu 5 Juli 2023.

Keberadaan Wadelo, wanita berusia 30 tahun itu menarik perhatian masyarakat, karena lokasinya persis di tepi jalan raya. Dia berjualan tanpa alas meja dan kursi, serta pelindung dari terik matahari. Hanya ada payung kecil yang digunakan sebagai penutup kotak kue, sekaligus meneduhkannya dari terik matahari.

“Kalau anak saya sekolah tidak menjual kue. Nanti setelah dia pulang sekolah, baru jalan jualan kue di tepi jalan,” ujar Wadelo.

Wadelo bercerita, meski Nursela selalu menemaninya berjualan, dia tidak pernah meminta imbalan ataupun meminta hal-hal yang memberatkan orang tuanya. Sebaliknya, Nursela selalu dengan setia menuntun ibunya berjalan, pergi dan pulang usai berjualan.

Tuna netra, atau gangguan penglihatan, tidak membuat Wadelo kesulitan mengenali mata uang. Dia bisa mengetahui besaran nilai uang rupiah, dengan cara meraba dan dari panjang kecil kertas mata uang itu sendiri.

“Tiap uang itu berbeda ukuran dan kalau diraba terasa kertas ini uang Rp 50 ribu dan ketas ini uang berapa. Kalau pun salah, ada anak saya bisa melihat dan menghitung,” Wadelo menjelaskan.

Beragam kue yang dijajakan Wadelo, diambil dari Toko Roti Nurlela di Jalan Pelabuhan Nunukan. Tiap roti bantal dijualnya seharga Rp 25.000, dan tiap satu bungkus kue yang terjual mendapatkan keuntungan Rp 6.000.

Wadelo bercerita, dia sengaja memilih berjualan di Alun-alun Kota Nunukan, meski di bawah terik matahari bukan tanpa alasan.

“Pernah saya coba jualan di tempat teduh jauh dari jalan raya, tapi tidak laku. Makanya kami jualan di sini bawa payung kecil,” terang Wadelo.

Tiap kali berangkat dari rumah, Wadelo terlebih dulu mampir ke toko roti, untuk mengambil kue yang disimpannya dalam boks plastik. Tidak lupa payung kecil selalu dia bawa saat berjualan.

Pada waktu – waktu tertentu, ibu dan anak ini mampu menjual 14 bungkus roti bantal setiap harinya. Terkadang ada pembeli yang sengaja, entah karena iba atau suka roti bantal, membelinya dalam jumlah banyak.

“Pernah jualan kami habis cepat. Jadi kami kembali ambil kue di toko lagi. Terkadang ada juga waktunya kurang laku,” cerita Wadelo.

Keterbatasan penglihatan tidak membuat Wadelo pasrah menerima nasib. Sebaliknya, dia berusaha tetap membantu suaminya yang bekerja sebagai buruh angkut dengan penghasilan tidak menentu setiap harinya.

Wadelo merupakan wanita asal Kabupaten Baubau, pulau Buton, Sulawesi Tengah, yang terlahir dalam kondisi cacat penglihatan. Sedangkan suaminya berpenglihatan normal. Begitu juga dengan kedua anaknya yang lahir normal.

“Anak saya dua orang. Paling kecil umur 4 tahun. Kalau saya jualan dan suami kerja, anak paling kecil tinggal di rumah,” tutup Wadelo mengakhiri perbincangan.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Saud Rosadi

Tag: