KPK: Lemahnya Perencanaan Berakibat Tingginya Risiko Korupsi

Kepala Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi (Kasatgas Korsup) Wilayah IV Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wahyudi Narso dalam rapat koordinasi pemberantasan korupsi pada sektor perencanaan dan penganggaran dengan DPRD Kabupaten Nunukan, Kamis (22/6). (Foto KPK)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Lemahnya sistem perencanaan dan penganggaran daerah, menjadi salah satu permasalahan yang sering terjadi terhadap program prioritas yang telah ditetapkan pemerintah. Jika hal tersebut tidak dipercepat penguatannya maka akan berakibat pada inefesiensi, inefektivitas, dan tingginya risiko korupsi dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Hal tersebut dikemukakan Kepala Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi (Kasatgas Korsup) Wilayah IV Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wahyudi Narso lewat rapat koordinasi pemberantasan korupsi pada sektor perencanaan dan penganggaran dengan DPRD Kabupaten Nunukan, Kamis (22/6), di Kantor DPRD Nunukan, Kalimantan Utara dan dirilis dilaman resmi KPK.

Berdasarkan data KPK hingga bulan Maret 2022, Wahyudi menyebut, KPK telah menangani 1422 perkara tindak pidana korupsi. Bila dilihat berdasarkan profesi atau jabatan dari total perkara tersebut, jabatan anggota DPR dan DPRD menjadi yang terbanyak pada posisi kedua yaitu 310 perkara setelah pihak swasta 370 perkara, jabatan ketiga tertinggi yang terlibat perkara tindak pidana korupsi ialah eselon I, II, dan III.

“Para anggota DPR/DPRD yang telah terjerat kasus korupsi berupa suap merupakan bagian dari korupsi politik. Praktik atau modus utamanya ialah penyalahgunaan jabatan dengan memanfaatkan otoritas yang dimiliki untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, baik dalam rangka memperkaya diri dan memberi kompensasi dalam memelihara sumber-sumber kekuasaan,” kata Wahyudi.

Melihat hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), masih ditemui perilaku koruptif dan sikap permisif pada anggota DPRD karena buruknya tata kelola pemerintahan, seperti sistem perencanaan dan penganggaran kegiatan belum terintegrasi, pengendalian dan pengawasan yang kurang efektif (SPIP), dan APIP belum dapat mengoptimalkan dalam menjalankan fungsi pengawasan.

Sementara saat rapat koordinasi pemberantasan korupsi pada sektor bersama dengan Sekretaris Daerah (Sekda), Inspektorat Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), Dinas PUPR, dan Dinas Kesehatan Kabupaten, Wahyudi mengungkapkan, besarnya anggaran pada Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) sering kali menjadi celah terjadinya praktik tindak pidana korupsi pada pemerintah daerah.

“Terhitung pada persentase sebesar 51 persen kasus korupsi yang telah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pengadaan barang/jasa dan keuangan negara,” ujarnya.

Dalam menutup celah tersebut, diperlukan strategi yang tepat untuk mencapai Indeks Tata Kelola Pengadaan (ITKP) minimal baik untuk Tahun 2023 pada pemerintah kabupaten/kota. Salah satunya melalui optimaliasi pada indikator perencanaan, pengadaan, dan pelaksanaan, serta penyelesaian pekerjaan dan pemanfaatan aset infrastruktur di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan.

Mengenai indikator ini, kata Wahyudi, upaya perencanaan penganggaran dapat diterapkan berdasarkan kinerja performance budget dengan menggunakan pendekatan penyusunan anggaran.

Peningkatan juga harus dilakukan untuk transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan berdasarkan pelaksanaan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024.

“Dengan upaya pencegahan korupsi, KPK melalui kinerja koordinasi dan supervisi melakukan pendampingan kepada Pemkab Nunukan pada proses Rencana Umum Pengadaan (RUP) pemerintah daerah. Ini dilakukan untuk mencapai prioritas nasional, mempercepat pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan layanan publik, dan mendorong pertumbuhan perekonomian daerah,” kata Wahyudi.

Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan

Tag: