JAKARTA.NIAGA.ASIA — Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Archipelagic and Island States (AIS) Forum 2023 yang digelar di Nusa Dua, Bali, pada 10–11 Oktober mendatang akan mempertajam strategi bersama negara-negara pulau dan kepulauan menghadapi isu dan permasalahan maritim di kancah internasional, khususnya terkait perubahan iklim.
Hal tersebut disampaikan oleh Peneliti Universitas Padjajaran (UNPAD) yang juga menjadi perwakilan Indonesia pada AIS RnD Conference 2023, Alexander Muhammad Khan, dalam Forum Merdeka Barat (FMB9) Road to KTT AIS FORUM 2023 bertajuk “Langkah Nyata Kelola Laut” yang ditayangkan di kanal YouTube Forum Merdeka Barat 9.
“AIS Forum akan menjadi wadah negara pulau dan kepulauan menghadapi common enemy (masalah bersama), seperti kenaikan permukaan air laut dan perubahan iklim. Upaya untuk itu akan menjadi lebih terkoordinir, terstruktur, dan tajam. Jadi tidak lagi sporadis,” ujar Alexander.
Alexander menilai, dalam menghadapi permasalahan di daratan dan lautan dibutuhkan strategi yang berbeda. Hal ini karena beberapa hal, misalnya perbedaan batas-batas wilayah, di darat akan terlihat jelas, sementara laut tidak. Olehnya itu, Alexander menekankan bahwa masalah perikanan dan kelautan tidak bisa diselesaikan secara sendiri-sendori.
“Dengan adanya forum komunikasi seperti The Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF), dan sekarang AIS Forum, masalah-masalah tersebut dibingkai sebagai kepentingan bersama yang bisa dibagi dan bisa dikelola bersama-sama,” ujarnya.
Alexander pun meyakini, langkah Indonesia sudah tepat dalam menggalang negara-negara lain untuk menyelesaikan masalah bersama di lautan tersebut.
“Indonesia sudah on the right track menginisiasi terbentuknya CTI-CFF pada 2009 dan AIS Forum di 2018. Ini menunjukkan visi dan kepemimpinan Indonesia di tingkatan global, khususnya dalam isu-isu kelautan,” ujarnya.
Lebih lanjut Alexander mencontohkan, misalnya di Indonesia, yang paling terdampak perubahan iklim adalah masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, seperti di Maluku Utara, Maluku, atau Papua. Beberapa masalah adalah kenaikan permukaan air laut, masalah sampah plastik, hingga penurunan tangkapan nelayan. Untuk itu, Indonesia berusaha bekerja sama (hand in hand) dengan negara-negara yang mempunyai kepentingan dan visi yang sama untuk menjaga kelestarian lingkungan perikanan serta kelautan, supaya itu menjadi aksi global bersama.
“Jadi tidak one man show, tidak satu negara saja, tapi menjadi hal yang bersifat common, bersama dihadapi Indonesia dan negara-negara pulau dan kepulauan di AIS Forum itu,” tuturnya.
Menurut Alex, pemerintah Indonesia sudah memiliki kebijakan yang selaras (inline) dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir dan kepulauan. Kebijakan itu dinilai merupakan wujud kematangan pengelolaan di bidang perikanan dan kelautan yang telah berjalan selama 24 tahun sejak 1999 lalu, sejak dibentuknya Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Contohnya dengan adanya penurunan jumlah tangkapan maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang membatasi alat tangkap yang dapat digunakan, membatasi lokasi penangkapan ikan dan mengatur waktu penangkapan ikan,” pungkas Alexander.
Dalam forum yang sama, Perwakilan AIS Youth Conference 2023, Engel Laisina, menekankan pentingnya aksesibilitas yang mudah bagi kawasan pedesaan baik di pesisir maupun area pulau dan kepulauan.
“Mengapa itu penting, karena kawasan pedesaan itu yang paling banyak menerima dampak dari perubahan iklim. Nah, saya melihat selama ini upaya-upaya pencegahan atau penanggulangan perubahan iklim hanya ramai di kota-kota saja, sementara yang paling terdampak adalah desa desa,” kata Engel.
Maka itu, kata Engel, dalam KTT AIS Forum 2023 nanti dirinya berharap semua perwakilan yang hadir bisa berbagi ilmu dan pengalaman dalam menghadapi serta mengatasi persoalan perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.
Selengkapnya bisa mengakses kanal YouTube Forum Merdeka Barat 9.
Sumber : Humas Sekretariat Kabinet | Editor : Saud Rosadi
Tag: BaliKTT AIS Forum 2023Perubahan Iklim