
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Kuasa hukum dari Nurfaidah, Mansyur mendesak Polda Kaltim untuk segera melakukan penahanan terhadap Irma Suryani, yang sebelumnya sudah ditetapkan sebagai tersangka di tahun 2025 ini dalam kasus dugaan pemerasan dan pengancaman.
Mansyur menilai, dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun penjara, sudah seharusnya tersangka langsung ditahan. Harapannya, penyidik dapat menjalankan dan menegakkan hukum setegak-tegaknya.
“Ini sudah tiga tahun sejak laporan dibuat pada tahun 2021, tetapi tersangka itu baru ditetapkan awal 2025. Sekarang, setelah ada status tersangka, kami mendesak agar Irma segera ditahan untuk menghindari risiko melarikan diri dari Kaltim,” ujar Mansyur, hari Sabtu (22/3).
Menurut Mansyur, langkah penahanan Irma Suryani sangat penting untuk memastikan kelancaran proses hukum, apalagi dalam gelar perkara khusus pada 9 Desember 2024, Irma Suryani sendiri mengakui bahwa barang-barang berharga milik Nurfaidah memang ada padanya.
“Barang buktinya memang ada sama Ibu Irma. Dinyatakan dan diakui langsung baik di BAP maupun pada saat gelar perkara. Pada saat gelar perkara ada pertanyaan, ‘betul kah barang-barang ini ada pada Ibu’. Dijawab ‘betul ada sama saya’. Dan itu diakui,” jelasnya.
Bisnis Berlian
Kasus ini bermula dari kerja sama bisnis jual beli barang branded dan berlian antara Nurfaidah dan Irma Suryani yang dimulai pada 2012. Awalnya, bisnis berjalan lancar, tetapi kemudian Irma menuduh Nurfaidah memiliki utang kepadanya.
Atas tuduhan itu, Irma kemudian merampas sejumlah aset berharga milik Nurfaidah, yang totalnya diperkirakan mencapai Rp16 miliar. Dari kurang lebih 30 item aset yang dirampas Irma, termasuk 7 sertifikat tanah dan bangunan, BPKB mobil, jam tangan mewah dan berlian yang telah lunas dibayar.
“Berlian-berlian yang pernah dibeli klien kami dari Ibu Irma juga sudah diambil kembali oleh Ibu Irma sendiri. Padahal ini kan sudah lunas dibayar. Bahkan kabarnya, ada sertifikat yang sudah dibaliknamakan menjadi atas nama Irma Suryani,” kata Mansyur.
Padahal, berdasarkan catatan rekening koran, Irma Suryani diketahui telah mengeluarkan uang sebesar Rp3,03 miliar untuk bisnis itu, sementara dalam periode kerja sama yang terjalin, Nurfaidah telah mengembalikan uang sebesar Rp4,7 miliar.
“Jadi, kalau bicara bisnis, justru Irma Suryani ini kan sudah untung. Tapi yang terjadi, dia malah mengambil paksa aset milik klien kami. Inilah yang menjadi dasar laporan pemerasan dan pengancaman ke Polda Kaltim pada 2021 yang lalu,” terangnya.
Laporan tersebut didasarkan pada Pasal 368 ayat 1 dan Pasal 369 ayat 2 KUHP tentang pemerasan dengan ancaman.
Kasus ini kata Mansyur, sempat mandek hingga 2024, membuat tim kuasa hukum Nurfaidah mengajukan surat permohonan perlindungan hukum ke Polda Kaltim pada 20 November 2024. Surat ini juga meminta dilakukannya gelar perkara khusus, yang akhirnya dilaksanakan pada 9 Desember 2024.
“Kami baru menerima tanggal 19 September 2024. Ketika kami sebagai kuasa hukum, laporan klien kami ini sudah 3 tahun sekian tidak ada kepastian. Bayangkan, 3 tahun proses hukum enggak ada kejelasan, ini menjadi tanda tanya bagi kita. Kok sepanjang ini prosesnya tidak ada kejelasan, enggak ada titik terang,” tuturnya.
“Kita bertanya-tanya, apa yang mendasari sehingga tidak diproses. Maka melalui kantor kami pada 20 November 2024, kami mengirim surat ke Polda untuk meminta perlindungan hukum dan gelar perkara khusus. Akhirnya gelar perkara itu dilakukan,” tambahnya.
Disinggung kembali apakah Nurfaidah benar-benar punya utang kepada Irma Suryani, Mansyur menegaskan bahwa kliennya sama sekali tidak merasa punya utang ke Irma Suryani. Tidak ada bukti yang menyatakan Nurfaidah memiliki hutang.
“Terkait tuduhan terhadap klien kami punya hutang, ini juga sudah clear melalui SP3 yang dikeluarkan oleh Polresta Samarinda pada saat itu. Nah, yang kami minta sekarang ini adalah harta-harta, barang-barang berharga, surat-surat berharga yang diambil secara paksa oleh Bu Irma, yang mencapai Rp16 miliar, kami hanya minta untuk dikembalikan. Itu saja,” paparnya.
Ditanya bagaimana Irma Suryani melakukan perampasan kepada Nurfaidah, ia menuturkan bahwa proses perampasan tersebut dilakukan secara bertahap dari tahun 2013 – 2016. Tidak sekaligus dalam waktu bersamaan barang-barang itu diambil oleh Irma Suryani.
“Irma ini teman dekat klien kami, dia adalah orang yang paling bebas keluar masuk kamar klien kami. Bu Irma ini kan bukan orang baru bagi Ibu Nurfaidah. Saat mengambil itu, ada ancaman yang dilontarkan Ibu Irma kepada klien kami. Sehingga klien kami agak takut dengan ancaman itu,” pungkasnya.
Berdasarkan informasi yang telah diterima, Mansyur menegaskan bahwa berkas kasus dugaan pemerasan dan pengancaman yang menyeret Irma Suryani sudah diserahkan penyidik Polda Kaltim ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim.
Dengan pelimpahan ini kata dia, jaksa akan melakukan penelitian sebelum menentukan langkah selanjutnya. Jika kajian kejaksaan dianggap lengkap, proses hukum ini akan dilanjutkan ke tahap 2, yang dikenal dengan proses P21.
“Sudah dikirim ke kejaksaan untuk diperiksa sehingga nanti kejaksaan punya waktu 14 hari untuk menyatakan berkas lengkap atau tidak. Nanti ketika jaksa menyatakan lengkap, baru memasuki tahap dua. Kami berharap segera dinyatakan lengkap supaya nanti bisa diuji di pengadilan,” harapnya.
Klarifikasi Kuasa Hukum Irma Suryani

Dikonfirmasi pada Sabtu (22/3), Anggota Tim Kuasa Hukum Irma Suryani, Jumintar Napitupulu, mengakui bahwa kliennya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan dan pengancaman yang telah dilaporkan oleh Nurfaidah dan Hasanuddin Mas’ud. Namun, mereka mempertanyakan proses hukum yang dinilai penuh kejanggalan.
Jumintar Napitupulu menegaskan bahwa, perkara ini bermula dari dugaan penipuan cek kosong yang telah dilaporkan kliennya pada 2020. Menurutnya, kasus tersebut berkaitan dengan kerja sama bisnis soal laut yang dijalin antara Irma dan Nurfaidah sejak 2016.
Pada tahun 2016, Nurfaidah disebut meminta dukungan dana sebesar Rp2,7 miliar dari Irma Suryani untuk bisnis tersebut. Sebagai bentuk kesepakatan keduanya, disetujui pembagian hasil usaha, yakni 40 persen untuk Irma dan 60 persen untuk Nurfaidah. Pembayarannya dilakukan dalam empat bulan berturut-turut.
Namun, sejak Juli hingga Oktober 2016, pembayaran yang dijanjikan tak kunjung diberikan. Irma berulang kali menagih, hingga akhirnya pada Desember 2016, Nurfaidah menyerahkan satu lembar cek senilai Rp2,7 miliar yang telah ditandatangani bersama Hasanuddin Mas’ud.
Saat Irma mencoba mencairkan cek tersebut pada Maret 2017, hasil clearing menunjukkan saldo rekening tidak mencukupi.
“Sudah tiga kali dicoba clearing, hasilnya tetap saldo tidak cukup,” beber Jumintar.
Merasa ditipu, Irma melaporkan kasus ini ke Polresta Samarinda pada April 2020. Namun, laporannya dihentikan dengan status SP3 pada Desember 2021, dengan alasan bukan tindak pidana.
“Ini yang aneh, bagaimana mungkin cek kosong tidak dianggap sebagai tindak pidana,” tegasnya.
Di sisi lain, laporan balik dari Nurfaidah dan Hasanuddin Mas’ud justru terus diproses di Polda Kaltim. Mereka melaporkan Irma dengan pasal 368 dan 369 KUHP terkait dugaan pemerasan dan pengancaman.
Seiring berjalannya kasus, Irma Suryani pada akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Kuasa hukumnya tak menampik status tersebut, tetapi meminta agar duduk perkara diungkap dengan adil.
“Kami tidak menyangkal status tersangka, tetapi harus diuji bagaimana cara Bu Irma disebut memeras atau mengancam. Apalagi, dokumen seperti BPKB dan sertifikat yang menjadi pokok perkara, justru diserahkan langsung oleh Nurfaidah kepada klien kami,” imbuhnya.
Ia juga menegaskan bahwa hingga kini, kliennya, Irma Suryani, tetap kooperatif dan siap menghadapi proses hukum selanjutnya.
“Kita menunggu prosesnya, tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah. Seorang tersangka belum tentu bersalah hingga ada putusan pengadilan,” tutupnya.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan
Tag: Pemerasan