Mafindo: Berita Bohong Semakin Berkembang

Puji F Susanti. (Foto Humas Polri)

JAKARTA.NIAGA.ASIA – Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menyatakan peredaran berita bohong kini semakin berkembang, karena media sosial yang semakin hari terus diminati.

“Setidaknya ada tujuh jenis hoaks yang saat ini banyak ditemukan,”  ungkap Presidium Mafindo, Puji F Susanti dalam diskusi pegiat media digital yang diselenggarakan Divisi Humas Polri, Selasa (14/3/2023).

Tujuh jenis hoaks yang mudah ditemukan sekarang, kata Puji, yakni satur/parodi, false connection, false context, fabricated content, manipulation content, imposter content, dan misleading content.

Menurutnya, saat ini fenomena hoaks politik lebih banyak ditemukan karena menjelang Pemilu 2024. Tentunya, Polri harus melakukan counter isu untuk meluruskan hoaks tersebut. Caranya, dengan memberikan sanggahan dan klaim yang jelas terhadap suatu informasi lewat hasil pemeriksaan fakta.

“Jadi, hoaks ini memang harus kita perangi di tahun politik seperti ini agar terhindar dari polarisasi bangsa dalam menghadapi Pemilu 2024,” ujarnya.

Dalam kegiatan yang sama, ahli komunikasi, Hardy R. Hermawan, meminta Polri selalu mewaspadai terjadinya krisis komunikasi. Krisis komunikasi terjadi ketika ada suatu peristiwa yang dampaknya besar.

“Yang perlu diingat dalam krisis komunikasi masalah kerap datang secara tidak terduga dan dapat membawa dampak negatif atau kerugian. Biasanya, dampaknya terhadap kepercayaan publik yang menurun.

Hardy R. Hermawan. (Foto Humas Polri)

“Jika terjadi krisis komunikasi, harus harus responsif dan komunikatif. Pendekatan lembaga, pendekatan teknologi, pendekatan literasi, budaya, bahkan ekonomi harus juga dilakukan,” ungkapnya.

Ditambahkannya, perlu diingat juga, ketika terjadi krisis komunikasi, counter bisa dilakukan melalui pembuatan content di media sosial.

“Counter perlu disesuaikan dengan karakteristik media sosialnya dan perlu kehati-hatian jangan sampai terjadi kesalahan saat mengunggah postingan,” jelasnya.

Sedangkan Arief C. Nugraha selaku Program Officer Generasi Melek Politik memaparkan, pendidikan dan lingkungan tempat tinggal tidak selalu menjadi tolok ukur tingkat paparan hoaks, negative campaign, dan black campaign.

“Pendidikan tidak mempengaruhi, nyatanya master, Phd, S1, tetap saja tingkat kepercayaannya terhadap hoaks ada yang tinggi,” ujarnya.

Arief C. Nugraha. (Foto Humas Polri)

Ia menerangkan, daerah tempat tinggal juga tidak mengaruhi. Bahkan, yang tinggal di perkotaan lebih tinggi kepercayaan terhadap hoaksnya karena penggunaan internet lebih tinggi.

Saat ini penyebaran hoaks, negative campaign, dan black campaign semakin beragam, mulai dari iklan serangan, media sosial negatif, atau pidato kritis. Namun, tujuannya tetap sama, untuk membujuk orang untuk menolak target dengan menyoroti kelemahan, kekurangan, atau kesalahan dari lawannya.

“Kepribadian, perilaku, posisi kebijakan, atau catatan masa lalu biasnya menjadi hal-hal yang digunakan untuk menjadi hoaks, black campaign, dan negative campaign,” jelasnya.

Sumber: Tribratanews.Polri | Editor: Intoniswan

Tag: