Melihat Orang Kasar di Lanjong

Salah satu adegan pentas ‘Orang Kasar’ dari Lanjong Foundation, Tenggarong. (Foto: istimewa)

Catatan: Endry Sulistyo*

PEMENTASANNYA sih OK. Akting para aktornya juga keren. Meskipun ada beberapa adegan yang lucu tetapi ceritanya kok klise gitu ya?”

Begitulah beberapa penggal komentar dari penonton yang turut menyaksikan pementasan teater dalam rangka ulang tahun Lanjong ke-22.

Pementasan ‘Orang Kasar’ oleh Lanjong Foundation dilaksanakan dua hari, 30 dan 31 Januari 2024 lalu. Hari pertama diperuntukkan penonton pelajar, esoknya untuk masyarakat umum.

Di hari ke-2 tersebut penulis turut hadir menyaksikan pementasan Orang Kasar karya Anton Chekhov saduran dari W.S Rendra.

Lantas salahkah dengan komentar penonton seperti di atas? Jawabannya sederhananya, tentu saja tidak ada yang salah dengan komentar penonton semacam itu.

Jagad teater, merupakan bentuk sastra yang dipentaskan. Sastra itu sendiri merupakan karya dari hasil refleksi dan representasi kehidupan masyarakat. Pun, teater itu sendiri merupakan produk akumulasi masyarakat. Berbagai kejadian sosial selalu diangkat dalam teater.

Di setiap pementasan seringkali penyaji tidak dapat atau bahkan tidak punya otoritas membuat penontonnya untuk paham dan sepakat dengan pesan yang disampaikan.

Menurut Suwardi (2011), kajian terhadap sosiologi teater terbagi atas 3 cabang yakni (1) analisis pertunjukan teater dalam lingkup sosial tertentu, (2) mempelajari aktor sebagai anggota sosial, (3) mempelajari hubungan antara isi (terutama jenis) teater dengan sistem sosial.

Jika kita melihat relasi antara isi dengan sistem sosialnya, maka kajian sosiologi teater juga mencakup respons masyarakat pembaca (penonton) yang dituju.

Dalam hal ini, munculnya pelbagai komentar penonton yang salah satunya seperti terkutip di atas menjadi sah untuk dikaji atau dianalisis.

Japi Tambajong (1981) atau lebih dikenal sebagai Remy Sylado, menyatakan bahwa terdapat tiga wajah teater saat ini, yakni sebagai petunjuk mudah penerimaan dengan mendirikan order; suatu bantahan untuk melawan rezim yang sudah ada (paling tidak simbolis); dan sebagai hiburan.

Pernyataan Japi Tambayong dapat menjadi pengingat sekaligus peringatan bagi para pelaku atau kelompok teater untuk tidak lagi merasa jemawa bila pertunjukannya berlimpah penonton.

Banyaknya jumlah penonton bukanlah satu-satunya indikator kesuksesan sebuah pementasan teater. Bisa jadi penonton itu hadir sekadar untuk mencari hiburan.

Kosis (Ketua Lanjong) dalam suatu obrolan dengan penulis menyatakan bahwa sah-sah saja bila seorang penonton itu hadir melihat teater karena alasan gabut atau tidak punya kegiatan lainnya, sehingga bisa saja penonton itu tak lagi peduli dengan tema atau pesan apa yang hendak disampaikan oleh pertunjukan tersebut.

Di sisi lain, pernyataan Japi Tambayong tersebut juga bisa ditafsirkan sebagai pengingat bagi para pekerja teater untuk tidak lagi serampangan menilai penonton punya kapasitas rendah atau tidak melek teater karena ketidakpahaman terhadap apa yang mereka pentaskan. Seringkali sebelum pementasan (dalam menentukan naskah), para pekerja teater sudah merasa dan berpikir “kira-kira penonton ngerti tidak ya dengan pementasan ini?”.

Pandangan Japi Tambayong tentang karakter penonton teater kita saat ini seharusnya dapat dijadikan acuan bagi para pekerja teater dalam menentukan strategi, agar di setiap pementasannya dapat dinikmati atau diapresiasi para penonton yang punya berbagai latar belakang.

Tak dipungkiri, Anton Chekhov melalui karya-karya dramanya telah memberikan pengaruh besar terhadap dunia drama (teater) abad ke-20 sekarang. Namun Chekhov sendiri pernah mengalami ketakberdayaan menghadapi penonton. Tahun 1896 saat Burung Camar atau The Seagull dipentaskan di St. Petersburg, pementasan tersebut mendapat sambutan tidak baik bahkan mendapat cemoohan dari penonton.

Akibat dari perlakuan tersebut Chekhov sempat menyatakan bahwa dia tidak akan pentas drama lagi di tempat itu, meskipun pada akhirnya janji itu ia ingkari berkat bantuan Stanislavski.

Bagaimanapun juga penonton adalah bagian dari teater. Akan tetapi penonton juga punya otoritas yang berada di luar jangkauan teater. Terlebih bagi penonton yang telah rela merogoh uang untuk menonton teater tentu berhak dan punya otoritas untuk berkomentar dan menilai sesuai kapasitas mereka masing-masing.

Hal inilah yang justru menjadi tantangan kerja-kerja kreatif bagi orang-orang yang bergelut di dunia teater agar di setiap pementasannya, apa yang disajikan bisa ‘terhubung atau terkoneksi” ke penonton.

Dan tantangan ini jiuga berlaku bagi para pegiat dan komunitas teater yang ada di Kalimantan Timur. Catatan kecil dari bangku penonton ini penulis temukan lalu membawanya dari Tenggarong menuju Samarinda pada dini hari.*

*Penulis kini bergiat di Komunitas #SejangkauanTangan Indonesia dan Komunitas TerAksara. Masih aktif menyiarkan tulisan ke beberapa media. Dapat dihubungi melalui surel: penyintasrimba@gmail.com atau IG: @akurimbajati
Tag: