Penulis: Bagoes Fikri Heikhal Erwin Syachrannie

There is nothing new under the sun, merupakan kalimat yang cocok untuk menggambarkan pola manusia dalam menghadapi krisis, termasuk dalam menghadapi masalah di sektor pangan. Ketika harga mulai naik dan ekspektasi masyarakat terkait stok yang melemah, respons yang muncul dari waktu ke waktu yaitu kepanikan, perilaku konsumtif, dan terlambatnya pengambilan kebijakan dapat mengakibatkan inflasi berkembang lebih jauh.
Kenaikan harga yang disebabkan oleh terjadinya inflasi di sektor pangan daerah dapat dipicu oleh banyak hal, di antaranya gangguan distribusi, tidak seimbangnya pasokan dan permintaan, perilaku konsumtif masyarakat, hingga panic buying.
Contoh sederhana, ketika terjadi keterlambatan pasokan bahan pokok ke pasar, karena khawatir stok akan habis, masyarakat akan membeli dalam jumlah besar. Perilaku ini justru mempercepat kenaikan harga, walaupun pasokan menunjukan cukup.
Selain itu, perilaku konsumtif menjelang momen hari besar keagamaan seperti Ramadhan juga sering mendorong sisi permintaan secara, sementara pasokan belum sepenuhnya tersedia.
Ketika kondisi ini tidak diantisipasi dengan baik, harga bahan pokok seperti beras, minyak goreng, dan gula cenderung mengalami lonjakan. Gangguan distribusi, seperti keterlambatan pasokan akibat cuaca buruk hingga gagal panen juga memperparah situasi.
Tentunya, dalam menjaga inflasi tetap stabil, upaya seperti pemberian bantuan fisik meliputi subsidi pupuk, distribusi alat dan mesin pertanian merupakan langkah penting untuk jangka panjang. Pemberian sarana dan prasarana (sapras) pertanian dapat meningkatkan produktivitas yang akan berdampak pada peningkatan pasokan pangan secara berkelanjutan. Jika produktivitas meningkat, risiko ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan dapat menjadi lebih minim.
Namun, tantangan di lapangan sering kali menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas tidak selalu berbanding lurus dengan stabilitas harga. Masalah seperti distribusi yang tidak merata dan kesulitan akses pasar sering menyebabkan ketidakseimbangan baru yang memicu gejolak harga.
Misalnya, petani yang menerima bantuan alat panen modern dapat meningkatkan jumlah produksi, tetapi tanpa informasi akses pasar yang memadai, hasil panen tersebut tidak terserap optimal. Akibatnya, pada musim panen raya, harga akan anjlok di tingkat petani, sementara di daerah lain harga tetap tinggi karena keterbatasan distribusi. Oleh karena itu pentingnya informasi akan alat untuk mencari akar masalah yang sesungguhnya.
Informasi ketersediaan pasokan, pola inflasi, pola masyarakat, dan harga pangan hal-hal tersebut tercermin pada data. Saat ini, pemerintah memiliki berbagai sumber data yang sangat kaya dan dapat menjadi landasan utama dalam pengambilan kebijakan pengendalian inflasi. Sehingga kebijakan yang diambil menjadi data driven.
Menggunakan data untuk pengendalian inflasi berarti juga memperkuat kolaborasi antar lembaga. Data dari Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP), Laman Informasi Ekonomi Komoditas Kaltim (Laminetam.id), Badan Pusat Statistik (BPS) serta data-data yang dimiliki tidak boleh berdiri sendiri. Analisis yang terintegrasi akan memungkinkan pemerintah daerah melalui TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah) untuk menentukan intervensi yang lebih tepat sasaran.

Dengan adanya integrasi dan analisis data yang mendalam, upaya pengendalian inflasi yang dilakukan menjadi lebih komprehensif. Seperti upaya Kerjasama Antar Daerah yang tepat antara daerah produsen dan daerah konsumen, hingga sistem untuk memonitor ketika terjadinya kekurangan stok dan volatilitas harga. Sehingga, alih-alih hanya merespons ketika terjadi kenaikan harga, pemerintah dapat menerapkan kebijakan prediktif berbasis data yang mencegah krisis lebih awal.
Upaya Bank Indonesia Kaltim mengendalikan inflasi
Di Kalimantan Timur, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Timur berperan aktif dalam mendorong pengendalian inflasi menggunakan pemanfaatan data melalui sinergi dengan TPID. Salah satu langkah strategis yang diambil adalah pengembangan Early Warning System (EWS) berbasis data dalam mendukung pengambilan kebijakan yang lebih akurat dan cepat.
EWS memberikan peringatan dini jika ada potensi kenaikan harga bahan pangan tertentu, sehingga pemerintah dapat segera melakukan intervensi sebelum harga melonjak. EWS di Kalimantan Timur memanfaatkan sinergi data dari Laminetam.id, data survei BPS, serta data-data pendukung lainnya untuk meningkatkan akurasi hasil dari prediksi.
Ketika terjadi lonjakan harga di pasar dalam beberapa minggu terakhir, lonjakan tersebut akan terdeteksi di sistem EWS. Setelah terdeteksi, EWS akan memberikan peringatan terkait komoditas-komoditas yang mengalami lonjakan harga sehingga pemerintah dapat mengambil langkah cepat dan intervensi yang tepat sasaran, seperti operasi pasar, percepatan distribusi dari daerah surplus, serta koordinasi dengan distributor dan pelaku usaha untuk menjaga kelancaran pasokan komoditas yang mengalami fluktuasi harga.
Tentunya masih banyak ruang untuk memanfaatkan data yang sudah tersedia untuk menghasilkan kebijakan yang dapat menyasar akar permasalahan. Dengan kolaborasi lintas sektor dan pemanfaatan teknologi, harapannya pengendalian inflasi dapat menjadi lebih tepat dan prediktif.
*) Penulis adalah Analis Yunior Kantor Perwakilan BI Provinsi Kaltim dan tulisan ini merupakan opini pribadi, dan bukan merepresentasikan pandangan institusi.
Tag: Inflasi