SAMARINDA.NIAGA.ASIA — Masyarakat Bugis yang bermukim di kecamatan Samarinda Seberang, menghadirkan tradisi unik turun temurun yang telah melegenda lebih dari satu abad. Tradisi itu adalah memasak bubur peca, sebagai santapan utama untuk berbuka puasa.
Setiap tahunnya, masyarakat setempat selalu menghadirkan makanan bubur peca sebagai hidangan utama berbuka puasa di Masjid Shiratal Mustaqiem, Jalan Pangeran Bendahara, Samarinda Seberang.
Tradisi itu menjadi daya tarik tersendiri, baik masyarakat sekitar masjid, maupun para wisatawan yang berkunjung, merasakan nuansa puasa Ramadan yang berbeda.
Bubur peca bukan sekadar hidangan lezat. Namun, melainkan sudah menjadi tradisi melekat di hati masyarakat. Bubur peca sendiri berbeda dengan bubur nasi pada umumnya.
Perbedaannya pada cara penyajian dan bumbu yang digunakan. Rempah dalam pembuatan bubur peca ini beraneka ragam, mulai dari bawang merah, bawang putih, jahe, kayu manis, pala, santan, kaldu ayam dan bumbu kari. Sehingga, menghadirkan aroma yang harum dan menggugah selera.
Ketika bubur peca tersebut disantap, perpaduan antara rasa gurih dan tekstur lembut pada bubur menghadirkan kenikmatan yang tiada duanya pada setiap suapan sendok.
Terik matahari mulai mereda, mana kala waktu menunjukkan pukul 16.00 Wita. Wartawan niaga.asia berkesempatan mengunjungi Masjid Shiratal Mustaqiem sore itu, mengenal lebih tentang sajian khas bubur peca.
Terlihat seorang perempuan paruh baya, dengan cekatan mengaduk bubur peca di dalam panci besar. Wangi rempah-rempah bercampur santan menyeruak dari arah dapur masjid.
Wanita itu adalah Mardiana, 57 tahun. Di sekitarnya ada tujuh orang anggota remaja masjid, membantunya menyajikan bubur peca. Sesekali tawa canda mereka pecah, menambah keceriaan suasana di dapur masjid.
Gerak tangan wanita itu begitu teliti, menambahkan lauk pauk seperti telur bumbu Bali, suwiran ayam goreng dan bawang goreng di atas hidangan bubur peca ini.
Sorot mata kembali tertuju pada Mardiana, yang sedang duduk di pinggiran dinding masjid. Dia tidak bisa menyembunyikan wajah letihnya, di tengah balutan hijab merah yang dia kenakan.
Sesekali dia mengayunkan kipas ke wajahnya yang bercururan keringat. Wartawan niaga.asia mencoba untuk menyapanya, dan mengajaknya untuk berbincang.
Mardiana, yang juga akrab disapa Alus itu bilang, tradisi makan bubur peca di Masjid Shiratal Mustaqiem isudah ada sejak seabad yang lalu.
“Semenjak Masjid Shirathal Mustaqiem ini terbangun, sudah ada bubur peca ini, dari nenek moyang kita sampai sekarang. Bubur peca ini sebagai makanan orang Bugis yang diadakan setahun sekali pas bulan puasa,” kata Mardiana, mengawali perbincangan Jumat 5 April 2024 sore.
Dari silsilah keluarganya sendiri, Mardiana adalah generasi ketiga yang telah melanjutkan resep turun temurun bubur peca ini.
“Dari nenek, terus mama saya sudah meninggal, terus sampai saya yang meneruskan resep ini,” ujar Mardiana, yang juga menjadi kepala dapur sekaligus ketua bumbu di Masjid Shiratal Mustaqiem.
“Saya sudah 21 tahun diamanahkan masak bubur peca ini. Saya bantu koordinir anak buah saja, makanya dijadikan ketua,” sambung Mardiana, sambil tersenyum.
Kata ‘Peca‘ sendiri berasal dari bahasa Bugis yang artinya bubur lembek, yang dimasak selama 5 jam, kemudian diaduk perlahan, secara terus-menerus dalam panci besar berisikan air mendidih.
“Buatnya dari jam delapan pagi sampai jam satu siang. Habis waktu Ashar ini sudah mulai isi-isi piring buat disajikan,” katanya.
Menurut dia, bubur peca ini bukan sekedar bubur biasa, melainkan obat panjang umur dan pereda sakit maag, bagi masyarakat Bugis.
“Tradisinya suku Bugis di sini buka puasa pake bubur peca. Makanya orang di sini berebut, biar dikit asal dapat. Soalnya berkahnya itu setahun sekali merasakan panjang umur, berdoa bisa ketemu dan makan bubur ini lagi tahun depan,” imbuhnya.
Dalam sehari, Mardiana mampu menghidangkan 300 porsi bubur peca untuk dimakan beramai-ramai, bersama masyarakat sekitar Masjid Shiratal Mustaqiem ini.
“Mau lebaran makin ramai yang datang buka puasa di Masjid Shiratal Mustaqiem ini. Katanya orang, tambah semangat ke sini katanya enak buburnya,” ujar Mardiana, menirukan perkataaan mereka yang sudah menyantap bubur peca.
Selain dimakan beramai-ramai saat buka puasa di masjid, bubur peca ini juga dibagikan merata kepada masyarakat sekitar pada pukul 12.00 siang.
“Dalam sehari 15 kg beras untuk 300 porsi yang dihidangkan di masjid, dan yang dibagikan ke masyarakat 10 kg. Untuk biaya pembuatan bubur peca sumbangan dari masyarakat ke masjid,” demikian Mardiana mengakhiri perbincangan.
Penulis: Nur Asih Damayanti | Editor: Saud Rosadi
Tag: Kisah InspiratifKulinerMasjid Shiratal MustaqiemRamadan 2024Samarinda