TERSEBUTLAH pada abad ke 16 ketika Kerajaan Kutai Kartanegara terkenal hingga ke seluruh Nusantara sebagai kerajaan kaya raya lantaran hasil hutannya yang melimpah.
Kala itu Kerajaan Kutai Kartanegara dipimpin rajanya yang bernama Aji Mahkota Mulia yang dikenal sebagai raja yang tegas dan keras. Di samping itu Raja Mahkota Mulia juga memiliki kesaktian yang luar biasa.
Kutai Kartanegara dikenal sebagai kerajaan Hindu, namun rakyatnya sebagian besar menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
Meski demikian rajanya, Aji Mahkota Mulia tidak memiliki agama dan kepercayaan yang jelas. Dia pemuja ilmu kedigjayaan, entah itu berasal Hindu, animisme dan dinamisme, semua dipelajari dan diamalkannya.
Rakyatnya pun meniru sang Raja. Ramai-ramai mengejar ilmu kesaktian. Untuk menguji sejauh mana tingkat kesaktian masing-masing, rakyatnya kerap berkelahi sendiri lantaran mengadu kesaktian. Sehingga ada nyawa yang melayang.
Melihat kenyataan itu, Aji Mahkota Mulia bukan prihatin, namun dia malah melegalkan adu kesaktian di kalangan rakyatnya. Di halaman istana disediakannya arena untuk rakyat adu kesaktian. Pemenang mendapat hadiah pangkat tinggi di keprajuritan dan yang kalah, luka atau mati dibiarkan begitu saja.
Syahdan, kisah tentang adu kesaktian rakyat Kerajaan Kutai Kartanegara yang terkadang membawa korban jiwa, membuat ulama besar Habib Hasyim dari Minangkabau yang telah mengislamkan masyarakat Sulawesi bersama Datuk Ri Bandang tertarik untuk datang ke Kerajaan Kutai Kartanegara.
Dengan niat menyadarkan Raja Mahkota Mulia dan melaksanakan syiar Islam, berlayarlah dua ulama itu menuju pusat kerajaan di Kutai Lama dengan menggunakan kapal layar.
Ketika sampai di muara Sungai Mahakam, Habib Hasyim yang aslinya berasal dari negeri Yaman, bermunajat kepada Allah SWT agar perahu layar yang mereka tumpangi menjelma menjadi seekor ikan Hiu yang besar dan bermoncong seperti parang (pedang). Dalam sekejap doa itu dikabulkan Allah.
Habib Hasyim dan Datuk Ri Bandang kini berdiri di atas Hiu Parang, meluncur menuju Kutai Lama. Rakyat Kutai geger, melihat dia orang mengenakan jubah putih dan kuning berdiri tegap di atas ikan Hiu Parang yang besar.
Dengan menimbulkan gelombang besar Hiu Parang itu merapat di pelabuhan depan istana. Kemudian Habib Hasyim dan Datuk Ri Bandang turun dan langsung menghadap Raja Aji Mahkota Mulia.
Habib Hasyim dan Datuk Ri Bandang dengan bahasa yang penuh tata krama menyampaikan maksud dan tujuannya menghadap Raja. Sontak Raja Mahkota Mulia marah mendengar apa yang disampaikan Habib Hasyim yang mengajak Raja dan seluruh rakyat Kutai masuk Islam.
Dengan jumawa Raja Mahkota Mulia meremehkan ajakan ulama itu. “Siapakah kalian berdua wahai petualang yang tidak jelas asal usulnya? Kalau ingin menyebarkan agama Islam di Kutai, kalahkan beta yang sakti mandraguna ini,” dengan pongah.
Singkat cerita, Habib Hasyim dan Raja Mahkota mulailah saling mengeluarkan kesaktian masing-masing. Raja Mahkota Mulia dan Habib Hasyim berhadap-hadapan.
Tiba-tiba Raja Mahkota berteriak. Badannya menghilang berubah menjadi api yang menyala-nyala. Beterbangan mengeliling Habib Hasyim yang berdiri tenang. Sementara sekitar mereka bertempur, hangus terbakar.
Habib Hasyim bersidekap dan mulutnya komat-kamit. Tangannya dihadapkan bersamaan dengan teriakan ‘Alllahu Akbar‘. Dari langit mengucur hujan yang sangat deras. Mematikan api yang membakar lapangan.
Mendadak hujan reda. Raja Mahkota Mulia terlihat berlutut di tengah lapangan. Badannya tak lagi mengeluarkan api.
“Beta menyerah wahai yang mulia Habib Hasyim. Sesuai dengan janji beta. Beta menyatakan diri masuk Islam bersama seluruh rakyat Kerajaan Kutai Kartanegara,” ujar Raja Mahkota Mulia.
Sejak saat itu, Kerajaan Kutai Kartanegara diislamkan Habib Hasyim dan Datuk Ri Bandang. Sedang Habib Hasyim mendapat gelar yang hingga kini masih sangat dikenal, yakni Tuan Tunggang Parangan. Gelar ini bermakna ‘orang mulia yang menunggang Hiu Parang”.
Penulis : Hamdani | Editor : Saud Rosadi
Tag: Cerita RakyatKaltimKebudayaanKutai Kartanegara