Pak Sugeng Pedagang Nasi Goreng yang Pernah Digusur Satpol PP 3 Kali

Pelanggan  warung Pak Sugeng. (Foto Ade/Niaga.Asia)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Sangat sedikit orang yang jualan nasi goreng siang hari. Dalam hal ini Karyono (52) yang akrab dipanggil Pak Sugeng yang sudah berjualan nasi goreng sejak tahun 1994 bisa

dikecualikan.

Pak Sugeng yang saat ini berusia 52 tahun itu menceritakan pengalamannya kepada  Niaga Asia, dirinya dan istri mulai berdagang sejak tahun 1994 di Kawasan Citra Niaga ikut dengan temannya sebagai tukang masak nasi goreng, baru 6 bulan berjualan, pemerintah melakukan penggusuran PKL di kawasan itu.

Berbekal penghasilan dan pengalaman kerja bersama temannya, kemudian pada tahun 1995 Pak Sugeng mencari tempat untuk berjualan dengan membuka warung kecil-kecilan dengan modal Rp 300 ribu di Tepian Mahakam.

Pria kelahiran Jawa Timur, Kota Lamongan itu hanya bermodalkan 1 rombong dan terpal penutup dengan luas Warung 3×4 meter persegi, bersama PKL lain yang jumlahnya mencapai puluhan pedagang.

Sempat berbulan-bulan tinggal dan tidur di warung yang diberi nama warung Tenda Biru itu bersama istri dan 1 orang anaknya, karena penghasilan yang didapat belum cukup untuk menyewa rumah.

Sempat kesulitan berjualan dari pagi sampai malam, pada akhirnya dagangannya ramai didatangi pembeli, hingga perekonomian Pak Sugeng meningkat dan bisa menyewa rumah di Jalan Abdul Muthalib dengan harga sewa Rp 750 ribu.

Setelah bertahun-tahun berjualan, Pak Sugeng kemudian mendapat kabar akan ada penggusuran pertama oleh pemerintah daerah pada tahun 2006, karena tidak ada upaya PKL untuk menyuarakan aspirasinya, dagangan warung Pak Sugeng pun dibongkar.

“Saya ingat betul tahun 2006 mendapat penggusuran itu, saya hanya bisa pasrah menuruti pemerintah,” terangnya.

Pak Sugeng mengandalkan Warung Tenda Biru-nya ukuran 3×4 meter untuk menghidupi keluarga. (Foto Ade/Niaga.Asia)

Sempat keliling untuk mencari lokasi berjualan yang lain. Namun tidak ada tempat yang cocok, akhirnya Pak Sugeng berinisiatif untuk berjualan keliling ke dalam gang-gang dengan mendorong rombongnya.

“Saya terpaksa mendorong rombong untuk keperluan sehari-hari terutama untuk bayar sewa rumah,” ucap Pak Sugeng.

Dikarenakan faktor usia yang sudah menua, Pak Sugeng akhirnya memutuskan berjualan kembali di Tepian Mahakam dengan cara diam-diam, karena disaat itu tidak ada plihan lain buatnya dan istrinya.

“Ya mau bagaimana lagi mas, saya terpaksa kucing-kucingan dengan Satpol PP (Pamong Praja) bila ada razia saya dorong gerobak saya, bila tidak ada saya berjualan lagi,” ucapnya.

Hingga akhirnya Pak Sugeng mendapat izin dari Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Samarinda yang menjaga di Kawasan Pasar Pagi, Namun pihak Dishub tidak mau dibayar, dengan alasan tidak akan bertanggung jawab apabila ada penggusuran dari pihak pemerintah.

Berselang 5 tahun Kemudian, tepatnya tahun 2011 Para pedagang mulai dirazia Satpol PP dengan melakukan penggusuran, akan tetapi puluhan pedagang melakukan perlawan, sempat terjadi baku hantam namun para pedagang tetap digusur.

“Saya saat itu melakukan perlawanan bersama pedagang yang lain, sampai saya emosi dan nekat mau meledakkan tabung gas bila satpol PP menggusur warungnya,” terangnya.

Sempat melakukan aksi damai ke kantor walikota atas kejadian tersebut, hingga mendatangi kantor DPRD namun tetap tidak ada jawaban.

Penggusuran lagi-lagi terjadi pada tahun 2019. Namun Pak Sugeng sudah tidak menghiraukannya lagi, kini Pak Sugeng satu-satunya PKL lama yang tetap berjualan di Tepian Mahakam, sementara pedagang lain sudah enggan berjualan.

Saat ini, para pelanggan setia Pak Sugeng pun masih tetap berdatangan, karena memang rasa nasi gorengnya yang enak sambil menikmati pemandanga sungai mahakam.

“Saat ini saya hanya tau berjualan disini saja mas, saya sampe sekarang masih merasa was-was, namun ini buat keperluan hidup saya dan keluarga,” tutupnya.

Penulis: Ade Saputra | Editor: Intoniswan