SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah menuai gelombang protes karena dinilai merupakan langkah “pembangkangan” pemerintah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki.
BBC News Indonesia mengurai isi Perppu terbaru dari kacamata ahli hukum ketenagakerjaan, kelompok buruh, dan keterangan asosiasi pengusaha.
Sebagian dari mereka mengatakan aturan ini justru menciptakan “ketidakpastian hukum”.
Sebagian besar isi Perppu Cipta Kerja yang diteken Presiden Joko Widodo ini merupakan salinan dari Undang Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang disebut “inkonstitusional bersyarat“ oleh MK.
“Jadi kritik-kritik yang dulu sudah dilontarkan dalam pasal-pasal di dalam UU Ciptaker itu kan tersalin lagi ke Perppu No.2 tahun 2022 ini, yang pastinya memberikan permasalahan warisan,“ kata Nabiyla Risfa Izzati, ahli hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada.
Sejumlah pasal yang benar-benar baru di dalam Perppu Cipta Kerja justru menciptakan “ketidakpastian hukum,“ kata Nabiyla.
Pekerja alih daya
Pasal 64
Pasal yang mengatur tentang tenaga kerja alih daya atau outsourcing ini kembali dihidupkan dalam Perppu Cipta Kerja dengan perubahan. Pasal ini berasal dari UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 yang kemudian dihapus dalam UU Cipta Kerja tahun 2020.
Dengan kata lain, dalam UU Cipta Kerja tahun 2020 setiap sektor pekerjaan bisa menggunakan tenaga alih daya. Tapi dengan Perppu terbaru ini, ada kemungkinan jenis-jenis pekerjaan tertentu saja yang boleh diisi tenaga alih daya.
Tapi pemerintah tidak secara rinci menjelaskan tentang “menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan”.
“Apakah ini maksudnya menjadi peraturan pemerintah akan dibatasi jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan alih daya, atau dia sedang mengatur pembicaran mekanisme alih daya, atau apa? Itu serba tidak jelas,” kata Nabiyla.
Sementara itu, Ketua Umum Apindo, Hariyadi B Sukamdani, mengatakan pasal tersebut “tidak tepat”.
“Indonesia membutuhkan sangat banyak lapangan kerja. Nah kalau seluruh upaya atau koridor-koridor ini dipersempit, kita tidak punya alternatif cukup untuk penyediaan lapangan kerja itu,” ujarnya kepada media, Selasa (03/01).
Kelompok buruh satu suara menolak, namun menginginkan jenis-jenis pekerjaan tenaga alih daya makin dipersempit.
Said Iqbal, presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai melalui pasal ini, pemerintah sedang melakukan “moderasi” agar tidak semua sektor pekerjaan boleh menggunakan tenaga alih daya.
“Pertanyaannya, pembatasannya berapa? Kami inginkan bahwa dibatasi 5 jenis pekerjaan saja, seperti UU 13/2003 atau tambah 10 jenis pekerjaan. Jadi jelas, jangan seluruh jenis pekerjaan,” kata Said Iqbal kepada BBC News Indonesia, Rabu (04/01).
Penentuan upah minimum
Pasal 88C
Di dalam Perppu Cipta kerja, terdapat frasa “dengan syarat tertentu“ yang dihapus di akhir kalimat ayat dua. Kemudian penjelasan berikutnya gubernur dapat menetapkan upah minimum di tingkat kabupaten dan kota itu kalau jumlahnya lebih besar dari upah minimum provinsi.
Tidak ada yang terlalu signifikan dalam perubahan ini, kata Nabiyla. Tapi perubahan klausul ini tidak diikuti dengan penjelasan.
“Konsekuensinya apa ketika frasa syarat tertentu ini dihapus, dan alasannya kenapa? Itu tidak ada justifikasi,” ujarnya.
Pasal 88D
Pengaturan upah minimum buruh dalam lima tahun terakhir ini menggunakan variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi, termasuk diatur dalam UU Cipta Kerja.
Tapi, dalam Perppu Cipta Kerja ditambahkan variabel baru yaitu “indeks tertentu”. Variabel baru ini ditolak oleh Apindo yang disebut akan memberatkan dunia usaha.
Sementara itu, Said Iqbal mengatakan variabel ini “menimbulkan ketidakpastian”.
“Indeks tertentu ini apa? Kan nggak jelas. Inflasi, pertumbuhan ekonomi dan indeks tertentu ini apakah pengurang, pertambahan, pengalih atau pembagi, kan nggak jelas formulanya,” katanya.
Bagaimanapun, Nabiyla melihat variabel baru “indeks tertentu” ini justru memberikan kesempatan kepada dewan pengupahan untuk melakukan negosiasi dalam penentuan upah minimum.
“Karena kan indeks tertentu ditentukan di sidang pengupahan di dewan pengupahan. Jadi ada dialog yang muncul ketika penetapan upah minimum,” kata Nabiyla sambil menambahkan pasal ini akan menguntungkan pihak buruh.
Pasal 88F
Ini adalah pasal yang benar-benar baru dan paling krusial. Besaran upah buruh yang ditetapkan tiap tahun bisa suatu saat secara absolut ditentukan pemerintah pusat.
“Jadi yang punya kuasa besar itu adalah pemerintah pusat. Jadi kesannya sangat sentralisasi, jadi kayak apa pun yang nanti terjadi yang mengetok palu terakhir itu adalah pemerintah pusat,” kata Nabiyla.
Namun, Said Iqbal membacanya pemerintah ingin mengambil posisi ini di saat perekonomian sulit, seperti masa pandemi yang membuat perusahaan gulung tikar.
Ia setuju dengan pasal ini selama dijelaskan lebih rinci.
“Perusahaan dapat mengajukan penangguhan upah minimum dengan mengajukan laporan pembukuan merugi berturut-turut selama dua tahun secara tertulis. Itu jauh lebih mengena,” kata Said.
Dampak ke aturan turunan
Pasal 184 dan 185
Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) menyerukan Perppu ini dicabut dan dibatalkan.
Dalam keterangan tertulis, lembaga ini menilai keberadaan Perppu Ciptaker setebal 1.117 halaman menambah ketidakpastian hukum bagi pekerja.
Ketentuan penutup Perppu Ciptaker Pasal 184 menyatakan peraturan pelaksanaan (PP) UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja tetap berlaku. Akan tetapi, pasal 185 pada Perppu Ciptaker menyatakan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
“Jika hal itu dilaksanakan, empat PP klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja tidak memiliki dasar undang-undang di atasnya,” kata kata Nur Aini, ketua Sindikasi dalam keterangan tertulis, Rabu (04/01).
Empat aturan turunan yang dinilai tak memiliki landasan lagi karena Perppu Cipta Kerja ini adalah PP No 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing; PP No 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja;
Lalu, PP No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan; dan PP No 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Pelbagai pihak menunjukkan penolakan terhadap Perppu Cipta Kerja disebut menjadi cermin pemerintah tidak memberikan ruang partisipasi yang bermakna, kata Nabiyla.
“Ini menunjukkan pembuatan kebijakan yang sangat krusial, strategis, tapi tidak partisipastif. Itu sebenarnya merugikan bagi semua pihak,” katanya.
**) Artikel ini bersumber dari atikel BBC News Indonesia yang sudah tayang dengan judul; Enam pasal Perppu Cipta Kerja dinilai ciptakan ‘ketidakpastian hukum’: Penentuan upah minimum hingga pekerja alih daya.
Tag: Perppu Cipta Kerja