Pemerintah Ingin Aktifkan Kembali 5.000 Sumur Migas untuk Meningkatkan Produksi

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia didampingi Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Djoko Siswanto saat berada di wilayah kerja PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) di Duri, Bengkalis, Riau.  (Foto Kementerian ESDM/Niaga.Asia)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Indonesia menargetkan peningkatan dan optimalisasi lifting guna mewujudkan kedaulatan dan swasembada energi yang menjadi salah satu program pembangunan yang diprioritaskan era pemerintahan Prabowo – Gibran.

Indonesia memiliki hampir 45 ribu sumur minyak dan gas (migas), namun hanya kurang dari 17 ribu sumur yang aktif. Dari sekitar 45 ribu sumur yang ada tersebut, diperkirakan ada sekitar 5.000 sumur yang dapat diaktifkan kembali untuk meningkatkan produksi.

Demikian dilaporkan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Enetgi Dan Sumber Daya Energi dalam laporan bertajuk “Reviu Informasi Strategis Enenrgi dan Mineral” Periode Oktober-Desember 2024 yang dipublikasikan 17 Januari 2025.

Menurut Pusdatin, untuk mendukung hal tersebut, beberapa langkah yang dilakukan diantaranya dengan memanfaatkan teknologi seperti Enhanced Oil Recovery (EOR) serta pemangkasan jumlah izin eksplorasi minyak dan gas bumi menjadi 140 jenis dari sebelumnya berjumlah 320.

“Kedepannya, kegiatan eksplorasi minyak dan gas akan lebih banyak diprioritaskan kepada wilayah Indonesia Timur untuk menemukan cadangan minyak dan gas bumi baru,” katanya.

Di sisi eksternal, upaya peningkatan dan optimalisasi lifting migas memiliki tantangan dari adanya tuntutan pelaksanaan carbon neutrality yang harus dipenuhi oleh perusahan migas internasional.

“Hal ini menyebabkan sejumlah perusahaan migas internasional menurunkan target produksi jangka panjangnya dan mulai mengalihkan portfolio bisnisnya ke sektor bisnis rendah karbon,” demikian Pusdatin ESDM.

Akan tetapi, dalam perkembangannya, didorong oleh adanya krisis energi yang terjadi pada 2022, penerapan carbon neutrality cenderung lebih diseimbangkan untuk juga memperhatikan ketahanan energi dan keterjangkauan energi.

Hal ini juga mempengaruhi strategi penyediaan sejumlah perusahaan minyak internasional dan mendorong penyesuaian kembali terhadap target produksinya. Kondisi ini sempat terjadi pada BP dan Shell.

BP sempat merencanakan pengurangan target produksinya dari 2,6 juta barel hari di tahun 2019 menjadi 1,5 juta barel per hari pada tahun 2030 dalam rangka pelaksanaan dekarbonisasi dan pencapaian ambisi net zero pada tahun 2050.

“Namun, target produksi tersebut kemudian direvisi kembmali dari sebelumnya 1,5 juta barel per hari menjadi 2 juta barel per hari pada 2030 sehubungan dengan krisis energi global yang sempat terjadi pada 2020,” ungkap Pusdatin ESDM.

Foto Kementerian ESDM.

Tidak hanya dipengaruhi oleh terjadinya krisis energi, revisi target produksi juga dipengaruhi karena pertimbangan keuntungan bisnis. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, keuntungan yang diperoleh dari bisnis energi rendah karbon belum sesuai dengan bobot investasi yang dikeluarkan.

Perusahaan lainnya, Shell merencanakan untuk mengurangi investasinya dalam kegiatan hulu dan meningkatkan rasio investasinya dalam bidang energi terbarukan (penangkapan, penyimpanan hidrogen dan karbon). Akan tetapi akibat rendahnya keuntungan dan meningkatnya

perhatian terhadap ketahanan energi global menjadi faktor yang menjadi pertanyaan bagi shell untuk melanjutkan bisnis di bidang energi terbarukan.

Secara umum, papar Pusdatin ESDM, sejumlah perusahaan minyak dan gas internasional masih melihat prospek bisnis yang positif di sektor hulu migas di tengah tuntutan carbon neutrality dan transisi energi.

Perusahaan minyak internasional Eropa cenderung meningkatkan target produksi minyak dan gasnya di tengah kebijakan transisi energi. Sementara perusahaan minyak internasional Amerika Serikat cenderung melakukan merger dan akuisisi dan meningkatkan target produksinya di masa depan.

“Meskipun sejumlah perusahaan minyak dan gas internasional masih meningkatkan aktivitas minyak dan gas mereka secara global, namun beberapa perusahaan internasional seperti Chevron, Shell, dan ConocoPhiips cenderung melihat Indonesia sebagai area yang tidak terlalu menarik untuk mendapatkan keuntungan dari bisnis hulu migas,” kata Pusdatin ESDM.

Beberapa perusahaan mengharapkan tingkat Internal Rate of Return (IRR) yang lebih menarik untuk pengembangan proyek baru. Potensi Carbon Capture and Storage (CCS) juga menarik sebagai bisnis baru namun sejumlah pihak masih menantikan peraturan yang lebih jelas untuk implementasi CCS termasuk terkait penyimpanan lintas batas.

Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan

Tag: