JAKARTA.NIAGA.ASIA – Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden, Theofransus Litaay, menegaskan bahwa pemerintah terus melanjutkan upaya komunikasi dengan kelompok tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) melalui perantara pemerintah daerah, tokoh agama dan tokoh adat.
“Pemerintah tidak pernah menolak untuk bernegosiasi. Pemerintah terus melakukan komunikasi dengan penyandera. Tetapi tidak jelas dari penyandera ini mau apa dengan pilot. Dia tidak bicara soal bikin forum soal kemerdekaan,” ujar Theo kepada BBC News Indonesia.
Sampai saat ini pun, sambungnya, belum ada tim negosiasi dari TPNPB-OPM yang menyatakan diri mereka dan meminta agar bertemu dengan perwakilan pemerintah Indonesia.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa penyanderaan pilot Susi Air telah menimbulkan dampak meluas, terutama bagi masyarakat di Papua yang menantikan pengiriman barang-barang kebutuhan pokok.
Sebab, sejak insiden itu, banyak perusahaan yang tidak berani untuk mengirimkan pesawat ke wilayah Nduga.
“Pemerintah mengalami kesulitan, karena kan transportasi udara menjadi terbatas. Kita mau mengirim bahan makanan dan lain-lain, obat-obatan, bahan untuk perkantoran, pendidikan, sekolah jadi tidak bisa.”
Theo menyatakan bahwa pemerintah tetap tegas dengan sikap mereka, bahwa sang pilot harus dibebaskan tanpa syarat.
“Saat ini negosiasi berlangsung dalam rangka melepas sandera. Terus itu sudah berjalan. Karena keselamatan pilot adalah yang utama,” kata Theo.
Sebelumnya, Kapolda Papua Irjen Mathius Fakhiri mengatakan pihak Kepolisian Daerah siap untuk memenuhi tuntutan TPNPB-OPM demi pembebasan pilot, kecuali ‘kemerdekaan‘ dan senjata.
“Tidak mungkin kami mengabulkan kedua permintaan itu namun untuk uang yang juga diminta akan disiapkan dan diserahkan kepada Egianus Kogoya asal sandera yang berkebangsaan Selandia Baru itu dibebaskan dan diserahkan ke aparat keamanan,” ujar Mathius, seperti dikutip oleh kantor berita Antara, Kamis (29/6).
Ia menjelaskan saat ini negosiasi dengan TPNPB-OPM masih terus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga Egianus Kogoya.
“Kami berharap Egianus tidak melakukan ancamannya yakni menembak pilot Susi Air tanggal 1 Juli mendatang,” kata Fakhiri seraya menyatakan harapannya keluarga dapat membantu meyakinkan Egianus untuk tidak mengeksekusi tawanannya.
Sementara, konflik kekerasan di Papua tetap berjalan yang berkaitan dengan aspirasi kemerdekaan yang masih terus disuarakan beberapa faksi di kalangan penduduk Papua.
Konflik ini menelan korban bukan hanya dari pihak TPNPB-OPM, tetapi juga TNI dan warga sipil.
Menurut laporan Amnesty International Indonesia pada periode 2018 – 2022, terdapat setidaknya 94 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, petugas lembaga pemasyarakatan, dan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang menewaskan setidaknya 179 warga sipil.
Jumlah korban yang meninggal dari pihak TNI sebanyak 35 jiwa dari 24 kasus pembunuhan di luar hukum, sembilan anggota Polri dari delapan kasus, dan 23 anggota kelompok pro-kemerdekaan Papua dari 17 kasus.
Pemerintah pusat menanggapi tuntutan kemerdekaan rakyat Papua dengan menerapkan otonomi khusus di daerah itu sejak 2000. Namun, tidak semua masyarakat Papua menerima kebijakan otonomi khusus karena dianggap tidak mengabulkan keinginan mereka.
Belakangan ini kebijakan otonomi khusus dikritik setelah muncul klaim bahwa dana otonomi khusus (Otsus) lebih dari triliunan dana otonomi khusus (Otsus) yang digelontorkan oleh pemerintah pusat kurang dimanfaatkan untuk menyejahterakan rakyat Papua.
Bahkan pada 2018, Ketua Majelis Rakyat Papua menyebut puluhan triliun rupiah yang dikucurkan tiap tahun tak berdampak pada kesejahteraan warga asli Papua.@
Tag: OPM