Pendidikan Tinggi Banyak Masalah

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih. Foto: Dep/nr

JAKARTA.NIAGA.ASIA – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, & Teknologi RI, Nadiem Anwar Makarim untuk lebih sering berkomunikasi dan berkoordinasi langsung dengan kampus dan pelaku pendidikan tinggi.

“Dengan langsung ‘turun gunung’, Mendikbudristek diharapkan bisa mendapatkan informasi lebih detail terkait permasalahan terkini yang mendera sektor pendidikan tinggi di tanah air,” kata Fikri Faqih melalui siaran persnya, Rabu (10/5/2023).

Hal tersebut disampaikan Fikri Faqih usai menerima banyak masukan dari kolega di perguruan tinggi yang terdiri atas para rektor PTS, PTN, maupun pengamat Pendidikan atas maraknya permasalahan di kampus-kampus tanah air.

“Salah satunya masukan agar mas Menteri lebih sering ‘turba’, turun ke bawah mengunjungi kampus-kampus, baik negeri maupun swasta,” tutur Politisi Fraksi PKS ini.

Menurut Fikri, terkadang permasalahan di lapangan tidak dapat tergambar dari data-data teknis yang disampaikan oleh pejabat di bawah, maka pemimpin perlu turun langsung untuk melihatnya. Saat ini terdapat beberapa polemik yang mencuat terkait dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Salah satunya adalah soal evaluasi pelaksanaan PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) di sebelas universitas.

Beberapa pihak menilai, PTN-BH minim kontrol dari pemerintah, baik secara pengelolaan keuangan, maupun penerimaan mahasiswa. Padahal MK sudah memutuskan, bahwa aset PTN-BH tetap milik negara, yang artinya tetap wajib diaudit dan ada pertanggungjawaban hukumnya dalam pelaporan keuangan. Selain itu, banyak PTS juga meminta perimbangan keuangan negara (APBN) dalam sektor pendidikan tinggi di tanah air.

“Kampus swasta (PTS) juga mengeluh, kuota penerimaan mahasiswa baru di PTN-BH tidak terkontrol hingga puluhan ribu mahasiswa tiap tahunnya, sehingga berpotensi mematikan PTS-PTS yang ada. Pemerintah harus hadir dan intervensi untuk keseimbangan anggaran Pendidikan tinggi yang ada di Indonesia, terutama karena jumlah PTS lebih besar dari PTN (90 persen kampus adalah PTS),” ungkapnya.

Selama ini, menurut Fikri anggaran PTN mencapai 96 persen, sedangkan PTS dialokasikan hanya 4 persen. Padahal jumlah mahasiswa di PTS sangat besar, mencapai 72 persen, sedangkan di PTN hanya 28 persen.

“Meski sekarang ada skema competitive fund, di mana PTN dan PTS punya peluang yang sama, namun masih jauh perbandingan alokasinya,” tambahnya

Dalam diskusinya, legislator Dapil Jawa Tengah IX ini juga mengungkap keluhan para akademisi soal beban administrasi yang harus dikerjakan para dosen pasca keluarnya Peraturan Menteri PAN-RB nomor 1 tahun 2023 tentang jabatan fungsional. Permasalahan ini menyebabkan lebih dari 4 ribu dosen menandatangani petisi di Change.org yang bertajuk:  ‘Mendikbud, Batalkan Deadline 15 April yang Mematikan Karier Dosen!’.

“Belum terintegrasinya sistem informasi yang digunakan untuk meng-input kredit dan kinerja para dosen tersebut, serta mepetnya deadline yang diberikan, membuat kredit yang telah dikumpulkan para dosen terancam hangus,” katanya Fikri.

Masalah lain juga menjadi catatan Fikri, yakni terkait Rancangan Peraturan Menteri tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (RPM PM-PT) RPM PM-PT, yang mengatur berbagai hal sebagai  turunan (peraturan pelaksanaan) dari UU 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Meski demikian, dinamika pembahasan dan dialektika terkait RPM tersebut masih dalam proses sebelum disahkan.

Menutup pernyataan resminya, Fikri mengatakan bahwa DPR tidak ikut membahas di level peraturan menteri. Namun, ia mengingatkan agar penerbitan suatu regulasi tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya, sesuai dengan ketentuan UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangan.

Sumber: Humas DPR RI | Editor: Intoniswan

 

Tag: