Penyebutan Pilar Budaya Pedalaman Sebaiknya Ditinjau Ulang

Direktur KMA Kemdikbudristek Sjamsul Hadi (kanan) bersama Kabid Kebudayaan Kutim dan Balikpapan serta Kepala UPTD Taman Budaya Kaltim Novarita.  (Foto Hamdani/Niaga.Asia)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Selama ini, apabila ada perbincangan kebudayaan baik di forum resmi maupun tidak resmi, selalu saja penyebutan bahwa pilar budaya Kaltim  dibagi tiga: pilar budaya pesisir, pilar budaya keraton dan pilar budaya pedalaman.

Pilar budaya pesisir menunjukan budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pesisir sungai dan laut. Pilar budaya keraton adalah budaya yang tumbuh dan berkembang di kalangan bangsawan Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Kesultanan Gunung Tabur, Kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Sadurengas.  Sedangkan pilar budaya Pedalaman adalah budaya yang ada di masyarakat etnis Dayak.

Pembagian tiga pilar itu, menurut Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA) Kemdikbud Ristek, Sjamsul Hadi, sebenarnya tidak salah sebagai penunjuk atau klasterisasi kebudayaan dari wilayah pemilik budaya tersebut.

Namun ujar Sjamsul Hadi, sebaiknya penyebutan ‘pedalaman’ untuk pilar budaya pedalaman diganti dengan penyebutan lain.

“Misalnya dengan penyebutan pilar budaya masyarakat adat sebagai pengganti pilar budaya pedalaman,” katanya kepada Niaga. Asia di sela rakor Festival Harmoni Budaya Nusantara, Hotel Sutasoma, Jakarta, Jumat (14/4).

Kata ‘pedalaman’ menurutnya tidak tepat manakala disandingkan dengan kata ‘budaya’.

“Pedalaman berkonotasi ‘terkebelakang’ bahkan ada yang memaknai ‘primitif’. Padahal masyarakat Dayak yang tinggal di sana sudah mengalami perubahan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya,” paparnya.

Hal senada juga disampaikan budayawan Dayak, Heronimus Riyang.

“Saya sudah menyampaikan di berbagai kesempatan bahwa penyebutan pilar ‘pedalaman’ pada budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Dayak tidak tepat. Sebaiknya para pihak yang selama ini sering menyebut pembagian pilar budaya tersebut mengganti dengan istilah lain,” ungkap Heronimus Riyang.

Dia menyatakan sependapat dengan Sjamsul Hadi.

“Saya setuju dengan  pendapat itu. Memang pedalaman menggambarkan sesuatu yang berkonotasi terbelakang bahkan primitif. Padahal budaya masyarakat Dayak itu luhur, penuh estetika dan etika. Jadi memang harus diganti pengistilahan tersebut,” tegasnya.

Heronimus Riyang menyarankan agak para pihak yang terkait masalah kebudayaan segera duduk satu meja, membicarakan ihwal tersebut. “Apapun namanya nanti yang penting tidak ada kata ‘pedalaman’,” pungkas penerima Anugerah Kebudayaan Kaltim di bidang musik daerah.

Penulis: Hamdani | Editor: Intoniswan | ADV Diskominfo Kaltim

Tag: