Perlu Titah Sultan Kutai

Catatan Rizal Effendi

Gubernur Isran Noor, Pangeran Aryo dan Muhammad Sa’bani. (Foto Istimewa)

SAYA menghadiri pengukuhan kepengurusan Lembaga Budaya dan Adat Kutai (LBAK) Provinsi Kaltim dan Kabupaten/Kota se Kaltim di Gedung Olah Bebaya, Kantor Gubernur, Jl Gajah Mada No 2 Samarinda, Kamis (28/9) pagi.

Para pengurus yang dilantik mengenakan busana taqwo. Baju taqwo termasuk busana adat Kutai. Karena wilayah Kutai awalnya sangat luas sebelum pemekaran, maka busana ini juga menjadi busana adat dari Kaltim dan daerah kabupaten/kota lainnya. Yang melantik pengurus LBAK adalah Ketua Dewan Pembina Dr Isran Noor yang kebetulan juga Gubernur Kaltim. Sebagai Ketua Umum LBAK adalah Muhammad Sa’bani, mantan Sekdaprov.

Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura XXI Aji Muhammad Arifin tak bisa hadir karena di Tenggarong berlangsung pesta adat Erau. Sultan mewakilkan kepada Pangeran Aji Aryo Putro.

Banyak yang berharap pengukuhan LBAK menjadi tonggak kebangkitan budaya dan adat Suku Kutai. Juga adat lainnya di Kaltim. Apalagi dalam menyambut kehadiran Ibu Kota Nusantara (IKN), yang sebagian wilayahnya berada di tanah Kutai. Wajar kalau adat dan budaya Kutai lebih menonjol.

Sesekali perlu ditampilkan tari sakral Ganjar Ganjur dan bapelas ala Kesultanan Kutai menyambut tamu besar di IKN. Saat ini ada yang merasa budaya dan adat Kutai agak meredup. Orang tahu masih ada Sultan Kutai di Tenggarong, tapi tak banyak lagi orang tahu adat budaya Kutai mulai bahasanya sampai budaya kesenian dan cita rasa kulinernya dalam kehidupan sehari-hari.

“Nyawa mandi ingat lagi lah dengan carang Kutai. Lopat,” begitu saya dengar dari teman urang Kutai. Itu artinya: Anda atau kamu tidak ingat lagi berbahasa Kutai, astaga. “Jangan jinaka ya, kendia etam jagur awak.” (Jangan berbohong ya, nanti kita pukul kamu).

Waktu saya masih sekolah di SMEA Samarinda tahun 70-an, saya banyak teman orang Kutai. Termasuk dengan ‘saudara saya” Zairin Fauzi, putra Bupati Kutai Drs Achmad Dahlan. Saya sering diajak ke Tenggarong dan juga menonton pesta budaya Erau. Lucu juga kalau mendengar panggilan beberapa nama dalam bahasa Kutai. Teman sekolah saya yang bernama Iskandar dipanggil “Kondoi.” Ada teman lain bernama Anwar dipanggil “Nueng.”

Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura XXI Aji Muhammad Arifin dan Bupati Edi Darmansyah membuka Erau 2023. (Foto Istimewa)

Saya masih sering mendengar carang Kutai kalau bertemu pakar ekonomi Unmul, Dr Aji Sofyan Effendi atau ASE. Aji itu gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Tapi wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji-nya kepada anak-anaknya. Ada juga gelar kebangsawanan Kutai yang lain seperti Awang, Dayang dan Encek.

Gubernur Kaltim ke-11 memakai gelar Awang yaitu Prof Dr H Awang Faroek Ishak. Putri sulungnya yang sekarang ini menjabat Ketua Kadin Kaltim namanya Dayang Donna Faroek. Gelar Awang dan Dayang konon diserap dari bahasa yang digunakan di Kerajaan Tuban Layar. Kerajaan tersebut pernah berdiri di Paser. Karena adanya perkawinan dari keluarga kedua kerajaan, maka Awang dan Dayang juga digunakan sebagai nama panggilan di tanah Kutai.

Adapun gelar Encek, biasa digunakan di lingkungan Keraton Kutai. Gelar itu merupakan panggilan bagi mereka yang bersuku Melayu. Kebanyakan mereka adalah cendekiawan yang mengabdi kepada Kesultanan Kutai. Ada tokoh wanita Kaltim kelahiran Tenggarong yang bernama Encek atau Encik yaitu Encik Hj Widyani.

Menurut saya, baik juga juga kalau bahasa Kutai menjadi mata pelajaran muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah. Termasuk juga keseniannya. Setidaknya di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan bahkan Kaltim. Biar bahasa Kutai dan seni budayanya tidak punah. Apalagi kamus Bahasa Kutai sudah ada. Salah satunya karya M Erwin Darma dkk.

Logat dan intonasi bahasa Kutai amat khas. Dialeknya juga beragam. Ada dialek Tenggarong, ada juga dialek Kota Bangun. Juga pakaian dan budayanya tak kalah menarik. “Grecek,” kata urang Kutai. Artinya cantik dan menarik. Adegan carang bahasa Kutai kemarin ditampilkan. Ada kanak bini sambil jualan jaja (kue).

Pengibaran bendera LBAK Kaltim. (Foto Istimewa)

Saya sempat menikmati roti baloknya. Pak Sa’bani mencobe jaja cincinnya. Mungkin dia takut kesurupan. Ada juga lidah sapi. Tapi saya dan Pak Sa’bani tak berani ikut menari jepen, sama-sama ndi bisa.

TRADISI BESEPRAH

Suku Kutai atau Urang Kutai ada kaitan dengan Suku Dayak dan Suku Banjar. Di Wikipedia disebutkan bahwa Suku Kutai itu adalah Suku Dayak Islam, yang juga banyak menyerap nila-nilai kebudayaan Banjar dan Melayu pesisir. Maklum mereka tinggal di pesisir Mahakam. Suku Kutai memiliki beberapa kesamaan dengan adat istiadat Suku Dayak rumpun Ot Danum (khususnya Tunjung-Benuaq) misalnya upacara Erau, belian sampai hal-hal yang gaib atau berbau mistis seperti parang maya, panah terong, perakut, peloros dan lainnya.

Begitu juga Suku Kutai memiliki kedekatan budaya dengan melayu Banjar seperti adanya pertunjukan Mamanda, tari Jepen, musik panting gambus sampai budaya bersyair semacam Tarsul. Bahasa pun ada beberapa kemiripan dalam ucapan atau penulisannya. Kesenian Tarsul sempat ditampilkan dalam acara pengukuhan kemarin. Tapi tidak terlalu lengkap. Tarsul adalah syair yang bersusul atau saling berbalas-balasan seperti pantun.

Ada 5 tradisi khas Kutai yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kemendikbud RI tahun 2022. Kelima hal itu adalah Nutul Baham, Muang Kutai Adat Lawas, Nae Ayun dan Begasing. Termasuk juga Tarsul. Selain 5 warisan itu, ada 9 objek cagar budaya di Kukar yang juga ditetapkan sebagai warisan tanah raja, di antaranya Situs Kubur Tajau Gunung Selendang Sangasanga, Rumah Penjara Sangasanga, Tugu Pembantaian Sangasanga, Makam Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa Loa Kulu, Tugu Pembantaian Loa Kulu, Kawasan Situs Muara Kaman, kompleks Makam Kesultanan Kutai Kartanegara, Masjid Jami Amir Hasanuddin dan Rumah Besar Tenggarong.

Encik Hj Widyani (ketiga dari kiri) bersama Ketua LBAK, Ketua KBBKT Dr Irianto Labrie dan mantan Danrem 091 ASN Brigjen TNI Dendi Suryadi, yang juga putra Kutai. (Foto Istimewa)

Saya suka dengan tradisi Beseprah, yang dalam bahasa Kutai artinya makan bersama sambil duduk bersila di atas tikar. Tradisi ini baru aja diadakan dalam perhelatan Erau Adat Pelas Banua 2023 di depan Museum Tenggarong. Di situ ada aneka ragam masakan Kutai disajikan. Misalnya nasi bakepor dengan sayur asam Kutai dan sambal raja. Nasi bakepor itu adalah nasi liwetnya orang Kutai. Wau nyaman beneh. Ada lagi gence ruan. Ini semacam rica-rica ala Kutai yang bahan baku utamanya adalah jukut haruan atau ikan gabus.

Bupati Edi Darmansyah dan Wakil Bupati Kukar Rendi Solihin menilai Beseprah merupakan warisan budaya Kutai yang harus terus dikembangkan dan juga dilestarikan. Menurut Sultan Aji Muhammad Arifin, tradisi Beseprah sudah ada sejak dulu.

“Beseprah menjadi simbol menyatunya Raja dengan rakyatnya. Semua jadi rukun dalam suasana bersenda gurau. Tak ada lagi perbedaan tingkat sosial,” jelasnya.

Pesta Erau di Tenggarong masih berlangsung sampai 2 Oktober. Tema tahun ini adalah “Semangat IKN Menjaga Adat dan Tradisi Budaya.” Pas beneh, agar suasana IKN di Sepaku selalu diwarnai budaya adat terutama dari Kutai dan suku asli Kalimantan lainnya.

Meski saya orang Banjar, saya merasa dekat dengan orang Kutai. Saya merasa adat budaya Kutai harus dibangkitkan kembali. Kalau perlu ada semacam titah Sultan untuk pedoman pelaksanaannya. Sebab, ini adalah kekayaan dan kearifan lokal dan punya nilai ekonomi yang tinggi dalam pengembangan industri kepariwisataan. Jika memungkinkan Museum Mulawarman dikembalikan ke Sultan atau Pemkab Kutai. Biar penataan koleksinya benar-benar sesuai perjalanan sejarah Kutai, tidak seperti sekarang ada beberapa koleksi tak ada hubungannya dengan Kutai.

Gubernur Isran ketika membuka Mukernas Ikatan Alumni Keluarga Keluarga Pelajar Mahasiswa Kalimantan Timur (IA KPMKT) menyinggung Sejarah Kutai yang mesti diketahui warga Kaltim. Mulai Kerajaan Kutai Kartanegara, Kerajaan Kutai Martadipura sampai akhirnya menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.

Dia juga menyinggung beberapa nama raja Kutai terkenal seperti Dewawarman, Maharaja Aswawarman dan Mulawarman. Saya sempat diberi gelar oleh Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura XX Haji Adji Mohamad Salehoeddin II pada 8 Juli 2012. Gelarnya bernama Raden Nata Praja Anum. Tentu itu kehormatan luar biasa. Meski saya bukan Aji atau Awang. Mandi atau ndi (tidak) apa-apa. Yang penting keroan etam (bubuhan kita) dengan segala budanya maju dan terus berkembang. Apa ndi mahut jadinya. Selamat bertugas pengurus LBAK.

Salam grecek.@

Tag: