
JAKARTA.NIAGA.ASIA – Perokok elektrik di Indonesia meningkat pesat. Pada 2021, berdasarkan Global Adult Tobacco Survey, jumlah perokok elektrik – yang didominasi usia 15 tahun ke atas – naik menjadi 10 kali lipat dalam 10 tahun terakhir.
Sementara juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan aturan yang membatasi konsumsi rokok elektrik sedang dalam harmonisasi antar-kementerian dan akan dituangkan dalam turunan UU Nomor 17 Tahun 2023.
Nadia berkata, peraturan tersebut “harusnya selesai dalam jangka waktu dekat,” kata Nadia, sebagaimana dilaporkan BBC News Indonesia.
Di dalamnya ada beberapa usulan yang mengemuka. Semisal melarang rokok elektrik untuk dikonsumsi kepada usia kurang dari 21 tahun dan pengawasan peredarannya sangat ketat, dimulai dari penetapan kadar maksimal nikotin serta melarang adanya zat tambahan.
Kemudian akan ada pengendalian iklan, promosi, dan sponsorship secara ketat. Lalu pengujian nikotin pada saat sebelum dipasarkan dan setelah dipasarkan. Terakhir bakal ada larangan perasa.
Nadia mengatakan PP rokok elektrik rampung dalam waktu dekat. Sampai pada 2019 Kementerian Keuangan yang disebutnya lebih cepat bergerak dengan menerapkan cukai rokok elektrik sebesar 57%.
“Sudah beberapa tahun ada cukai rokok elektrik, tapi Kemenkes malah belum punya aturan padahal sudah didesak,” ucapnya kepada BBC News Indonesia.
“Padahal rokok elektrik ini sangat menghawatirkan karena penetrasinya sangat kuat dan cepat. Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 saja menunjukkan kenaikan perokok elektrik hingga 10 kali lipat dalam waktu dua tahun.”
Pada Peraturan Pemerintah yang memuat pembatasan rokok elektrik nanti, dia berharap pelarangan rokok elektrik disamakan dengan rokok tembakau.
Tidak boleh ada keistimewaan lantaran bahayanya sama-sama besar. Misalnya Kawasan Tanpa Rokok tidak hanya berlaku untuk produk tembakau tapi juga rokok elektrik.
Pencantuman gambar peringatan pun harus disamakan dengan bungkus rokok tembakau.
Manajer Program Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Nina Samidi, berharap nantinya aturan soal rokok elektrik disamakan dengan rokok konvensional, seperti kawasan tanpa rokok elektrik, pencantuman gambar peringatan bahaya rokok elektrik, dan pengendalian iklan.
Tak kalah penting, kata Nina, iklan rokok elektrik mesti dikendalikan. Termasuk adanya larangan menjual ke anak-anak dan ibu hamil.
“Pemerintah sekarang masih takut mengatur rokok elektrik karena ada alasan rokok elektrik dipakai untuk berhenti merokok atau treatment…”
“Tetapi pemerintah tidak melihat bahwa di Inggris pengendaliannya sangat bagus dan memakai rokok elektrik berdasarkan resep dokter, jadi tidak sembarang diperjualbelikan.”
Tapi lebih dari itu, Nina berharap ke depannya cukai rokok elektrik tidak hanya diterapkan pada cairan atau liquidnya saja.
Namun juga peralatan hisapnya.
“Harusnya sebagai produk yang dipakai untuk mengonsumsi produk berbahaya atau mengancam kesehatan kena cukai.”
Selain itu cukainya pun minimal harus naik 20% setiap tahun -seperti yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Besaran angka itu diklaim tidak akan menganggu perekonomian Indonesia.
Intinya, kata Nina, jangan sampai lebih rendah dari inflasi.
Pada akhir tahun lalu WHO mendesak pemerintah di semua negara untuk memberlakukan rokok elektrik dengan varian rasa layaknya rokok tembakau.
Seperti dilansir dari Reuters, penggunaan vape sudah dilarang di 34 negara pada 2023 seperti di Brasil, India, Iran, dan Thailand.
Akan tetapi banyak negara kesulitan menegakkan aturan penggunaan rokok elektrik.
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Agus Dwi Susanto, menyebut angka perokok elektrik di Indonesia “meningkat pesat”.
Merujuk pada Global Youth Tobacco Survey pada 2011, persentase pengguna rokok elektrik tercatat 0,3%. Kemudian pada 2018, persentasenya melonjak hingga 10,9%.
Pada 2021, berdasarkan Global Adult Tobacco Survey, jumlah perokok elektrik -yang didominasi usia 15 tahun ke atas – naik menjadi 10 kali lipat dalam 10 tahun terakhir.
“Kalau pada remaja dengan usia 10-18 tahun, angka perokok elektrik di Indonesia juga meningkat hampir 10 kali lipat dalam dua tahun dari 2016-2018,” imbuhnya dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa (09/01).
Manajer Program Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Nina Samidi, menilai terus naiknya angka perokok elektrik di Indonesia dikarenakan tak adanya edukasi dan regulasi yang mengatur.
Sementara iklan rokok elektrik sangat bebas terlihat di media sosial Facebook, Instagram, dan YouTube.
“Jadi naiknya gila-gilaan dan mengerikan. Sekarang remaja menganggapnya vape lebih aman, padahal kata siapa aman?” katanya dengan nada kesal.
Dokter Spesialis Paru di RSUP Persahabatan, Agus Dwi Susanto, sepakat. Ia berkata sebanyak 57% masyarakat Indonesia mengaku pernah mendengar tentang rokok elektrik – berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey tahun 2021.
Dari situ, sebanyak 11,9% menyatakan pernah menggunakan rokok elektrik dan 3,0% aktif memakai rokok elektrik.
Alasan mengonsumsi rokok elektrik ada beberapa. Di antaranya karena menganggap kadar nikotin lebih rendah dari rokok konvensional, ada rasa, dapat menggunakan trik asap, dan mengikuti tren.
Hal lain, karena rokok elektrik dinilai tidak adiktif dibanding rokok konvensional, tidak menyebabkan kanker, dan ada izin dari orang tua.
“Kalau rokok elektrik tidak adiktif dan tidak menyebabkan kanker, ini persepsi yang salah,” tegasnya.
**) Artikel ini berasal dari BBC News Indonesia yang sudah tayang dengan judul “Rokok elektrik bakal jadi ‘bom waktu kesehatan’ di Indonesia – Mengapa penggunanya semakin tinggi dan apa bahayanya?”
Tag: Rokok Elektrik