Petani Sawah di Sebatik Pindah ke Rumput Laut, Ancaman Ketahanan Pangan Semakin Nyata

Petani rumput laut di Kecamatan Sebatik Barat menjemur hasil panennya. (Foto Budi Anshori/Niaga.Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Meski Pemerintah Kabupaten Nunukan belum pernah menghitung seberapa banyak petani sawah pindah usaha ke budidaya rumput laut, tapi secara faktual nyata adanya dan itu mengancam ketahanan pangan di wilayah perbatasan dengan Malaysia ini.

“Fakta yang kita lihat adalah puluhan hektar sawah di pulau Sebatik terlantar karena tidak lagi diolah pemiliknya. Potensi krisis beras mengancam pulau Sebatik dan Nunukan bersamaan terlantarnya sawah-sawah yang kini ditumbuhi semak belukar,” kata Anggota DPRD Nunukan Burhanuddin pada Niaga.Asia, Jumat (05/05/2023).

Pendapatan dari usaha rumput laut lebih menguntungkan dari bersawah. Dari itu sangat wajar jika masyarakat beralih profesi dari bekerja di sawah ke pekerjan di laut. Nilai jual rumput laut yang cukup tinggi berkisar diangka Rp 20.000 sampai Rp 30.000 per kilogram kering menjadi daya tarik untuk berpindah usaha dalam rangka meningkatkan ekonominya.

“Kita patut syukuri harga rumput laut tinggi, tapi kita juga perlu pikirkan potensi krisis beras di perbatasan Nunukan, kalau terus dibiarkan berbahaya bagi kehidupan masyarakat,” sebutnya.

Agar pertanian sawah tidak ditinggalkan masyarakat, Burhanuddin meminta pemerintah daerah dan provinsi membantu pengadaan peralatan dan lainnya yang dapat menunjang kemudahan untuk bercocok tanam.

“Bicara soal kebutuhan beras Nunukan tetap bisa terpenuhi selama masih ada kapal Sulawesi masuk, tapi apakah kita ingin sawah-sawah tidak lagi menghasilkan beras lokal,”  kata Burhanuddin.

Herni, salah seorang petani rumput laut di Desa Binalawan, Kecamatan Sebatik, pada Niaga.Asia mengatakan, usaha rumput laut lebih menguntungkan dengan masa panen 45 hari ketimbang pertanian sawah masa panen 90 hari.

“Sekali panen rumput laut dapat hasil Rp 10 juta, kalau sawah dulu dapat juga Rp 10 juta tapi menunggu 3 bulan lebih,” ujarnya.

Beberapa hal menjadi alasan Herni meninggalkan sawah adalah, sulitnya mendapatkan hand tractor dan pupuk, belum lagi persoalan irigasi air hanya mengandalkan hujan yang kadang 6 bulan tidak datang.

Sebelum menekuni usaha rumput laut, Herni sempat menjadi nelayan kelong ikan laut, namun usaha ini tidak bertahan lama karena hasil minim tidak sebanding biaya pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM).

“Saya 5 tahun jadi petani sawah, lalu berhenti pindah ke nelayan kelong, tidak lama disana pindah lagi ke rumput laut sampai sekarang,” bebernya.

Usaha rumput laut di Jalan Kampung Tengah Rt 05 dan RT 06 Desa Binalawan berkembang pesat setelah adanya normalisasi aliran sungai tahun 2022. Proyek normalisasi ini hasil aspirasi masyarakat yang diserap DPRD Nunukan.

Lokasi normalisasi aliran sungai persis berada di lokasi penjemuran rumput laut milik salah seorang petani disana, namun dengan kerendahan hati, pemilik lahan mempersilahkan warga menggunakan fasilitas tanpa biaya.

“Penjemuran itu punya orang, tapi warga boleh pinjam tanpa diminta biaya, termasuk menyimpan perahu disana,” pungkasnya.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Intoniswan

Tag: