
NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Kepolisian Resor (Polres) Nunukan membantah adanya penahanan satu unit alat berat beserta operator atas dugaan pidana pengrusakan kawasan hutan mangrove dan konservasi di Desa Setabu, Kecamatan Sebatik Barat.
“Tidak ada penahanan alat berat, Polisi ke lokasi kegiatan sebatas menghimbau penghentian kegiatan sementara pembukaan lahan,” kata Kasat Reskrim Polres Nunukan Iptu Lusgi Simanungkalit pada Niaga.Asia, Rabu (08/02/2023).
Penyelidikan Polisi di kawasan tersebut semata-mata menindaklanjuti laporan adanya kegiatan pembukaan lahan oleh kelompok warga dengan merusak mangrove guna keperluan alur sungai keluar masuk perahu dan penjemuran rumput laut.
Himbauan penghentian ini dihubungkan dengan adanya kerusakan puluhan hektar lahan mangrove oleh warga pulau Sebatik, tanpa izin dari pemerintah daerah dan Provinsi Kalimantan Timur.
“Laporan awal kita terima ada pengrusakan mangrove, kita turun kesana penyelidikan siapa pelaku dan siapa bertanggung jawab atas kegiatan itu,” sebutnya.
Lusgi menerangkan, hasil penyelidikan Polisi di Kecamatan Sebatik menemukan adanya pengrusakan 9 titik kawasan mangrove yang cukup besar dan puluhan pembukaan lahan mangrove skala kecil secara ilegal.
Namun, khusus pembukaan lahan di Desa Setabu, Polisi mendapatkan data terbaru bahwa lahan tersebut milik pribadi warga dilengkapi dengan Surat Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT) diterbitkan tahun 1985 oleh pejabat desa setempat.
“Kemarin kita hentikan karena belum ada kejelasan status lahan apakah masuk konservasi atau kawasan mangrove,” ujarnya.
Pengakuan dari masyarakat sebagai pemilik lahan secara sah dapat menjadi dasar Polisi menghentikan penyelidikan. Lagi pula dalam kawasan tersebut tidak terdapat tumbuhan mangrove sebagaimana informasi awal.
Hanya saja, Polres Nunukan meminta warga Setabu tidak dulu melanjutkan pembukaan lahan, sebelum pihak penyidik meminta klarifikasi kepada pemilik lahan dengan membawa bukti dokumen penguasaan tanah.
“Nanti kita panggil pemilik lahannya, kalau benar kawasan itu milik pribadi dan ada bukti dokumennya, silahkan melanjutkan pekerjaan,” terangnya.
Terpisah, Ahli waris keluarga pemilik lahan di Desa Serabu, Agus menerangkan bahwa lahan yang kini dibuka untuk kepentingan masyarakat merupakan tanah warisan dari orang tuanya sejak tahun 1970.
“Kepemilikan lahan itu ada suratnya SPPT dan sebelum pembukaan lahan, saya bersama masyarakat sudah minta izin ke Kades Setabu,” terangnya.
Lahan seluas 84 x 150 meter milik orangtuanya berbatasan dengan kawasan konservasi yang ditetapkan pemerintah tahun 2010. Untuk memisahkan lahan masyarakat dan konservasi, pemerintah membangun pagar besi dengan tiang beton.
Selain dibatasi oleh pagar besi kokok, pada kawasan tersebut terdapat aliran anak sungai yang secara yuridis masuk dalam kawasan konservasi, sehingga tidak mungkin masyarakat membuka lahan masuk dalam kawasan terlarang.
“Aliran sungai itu digunakan petani rumput laut untuk transportasi jalur keluar masuk perahu, kami tahu itu lahan pemerintah mungkin bisa diganggu,” bebernya.
Penulis: Budi Anshori | Editor: Intoniswan
Tag: Lingkungan Hidup