Proyek-proyek Berbasis Alam Diperkirakan Tidak Terlalu Diminati untuk Mencapai Pengurangan Emisi

Ilustrasi

SAMARINDA.NIAGA.AS – Pasar karbon adalah salah satu mekanisme yang sangat penting dalam mendukung penurunan emisi di masa mendatang. Namun proyek-proyek berbasis alam diperkirakan tidak akan terlalu banyak diminati untuk mencapai pengurangan emisi karena isu “permanen” dan berpotensi menunda pengembangan dan komersialisasi teknologi baru penurun emisi.

Di sisi lain, ada kecenderungan bahwa sejumlah negara akan bekerja sama dalam menyepakati standar pasar karbon yang universal, meskipun setiap negara memiliki ideologi yang berbeda.

Demikian disimpulkan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Enetgi Dan Sumber Daya Energi dalam laporan bertajuk “Reviu Informasi Strategis Enenrgi dan Mineral” Periode Oktober-Desember 2024 yang dipublikasikan 17 Januari 2025.

Disebutkan, hal yang perlu diantisipasi adalah kecenderungan bahwa setiap negara akan meningkatkan kredit karbon sebagai bagian dari aset mereka sehingga masing-masing negara akan memonetisasi aset karbon yang dimiliki sebagai keuntungan ekonomi nasional.

“Pada prinsipnya pemberlakukan kesepakatan standar perlu diantisipasi agar tidak terlalu memberatkan dan menguntungkan kelompok negara tertentu,” kata Pusdatin ESDM.

Studi dari International Energy Agency (IEA) memproyeksikan adanya penambahan lebih dari 5.500 GW kapasitas energi terbarukan secara global antara tahun 2024 sampai 2030, yang mana nilai ini adalah hampir tiga kali lipat dari peningkatan yang terjadi antara tahun 2017 sampai 2023.

Tiongkok tercatat memimpin dalam hal volume penambahan kapasitas energi terbarukan, sementara India tumbuh dengan laju tercepat di antara negara-negara major economies. Tiongkok telah melampaui target 1.200 GW kapasitas terpasang tenaga surya dan angin di 2030, enam tahun lebih awal di tahun ini.

“Sejak kebijakan untuk mengakhiri tarif feed-in pada tahun 2020, kapasitas kumulatif PV surya Tiongkok telah meningkat hampir empat kali lipat dan kapasitas angin meningkat dua kali lipat,” demikian Pusdatin ESDM.

Tenaga angin dan tenaga surya merupakan opsi teknologi paling terjangkau untuk menambah kapasitas energi terbarukan hampir di setiap negara. Kerja sama internasional dan intervensi kebijakan masih diharapkan untuk secara intensif berkontribusi menurunkan biaya proyek energi terbarukan di negara-negara berkembang untuk akselerasi pertumbuhan energi terbarukan di wilayah-wilayah yang memiliki potensi tinggi seperti Afrika dan Asia Tenggara.

Pusdatin juga mengungkap bahwa dengan adanya PP 25/2024, ada sejumlah perubahan utama yang dilakukan: penghapusan kewajiban penyampaian Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pertambangan tahunan, perpanjangan izin usaha pertambangan bagi anak perusahaan BUMN, kepastian hukum baru bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) operasi produksi, kepastian hukum baru bagi pemegang izin IUPK operasi produksi, dan adanya hak pertambangan kepada organisasi keagamaan.

“Salah satu isu yang krusial dari adanya perubahan regulasi tersebut adalah mengenai pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam rangka menetralisir isu tersebut. Pemerintah perlu memberikan pendidikan dan pelatihan perusahaan kepada organisasi publik mengenai praktik penambangan yang bertanggung jawab, teknik penambangan yang aman, dan pengelolaan lingkungan,” paparnya.

Pemerintah dan ormas perlu melaksanakan pengawasan dan pengaturan dengan memastikan adanya mekanisme pengawasan yang ketat dari pemerintah dan pihak independen untuk memantau aktivitas pertambangan.

“Sanksi yang jelas dan tegas juga harus diterapkan terhadap pelaku usaha yang melanggar peraturan atau tidak memenuhi standar lingkungan dan keselamatan bagi masyarakat yang terdampak,” pungkas Pusdatin ESDM.

Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan

Tag: