
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Produksi gas diperkirakan masih relevan hingga 15 tahun ke depan, sementara minyak diproyeksikan akan mulai ditinggalkan seiring dengan target transisi energi global.
Kondisi yang demikian menjadi tantangan besar bagi sektor migas, termasuk Kalimantan Timur untuk beralih ke energi terbarukan. Transisi ini tidak hanya penting untuk memenuhi komitmen global, tetapi juga untuk memastikan keberlanjutan energi di masa depan.
“Untuk itu PT Migas Mandiri Pratama Kaltim berusaha menggeser orientasi bisnis menuju energi terbarukan. Kami sudah siap bergeser untuk mendapatkan energi; bagaimana caranya kami melakukan kajian-kajian untuk pengelolaan limbah menjadi energi,” kata Direktur Utama PT MMP Kaltim, Edy Kurniawan, dalam rilisnya yang diterima Niaga.Asia, hari ini, Selasa (18/2/2025).
Edy menjelaskan bahwa cukup besar potensi energi terbarukan di Kaltim dari pengolahan limbah menjadi energi serta pemanfaatan biosolar B100, dan dari cangkang sawit untuk bahan bakar pesawat.
Sedangkan energi terbarukan seperti solar cell dan hydropower juga dipertimbangkan, meskipun saat ini dianggap kurang menarik karena biaya investasinya yang tinggi serta waktu pengembaliannya yang cukup lama,” katanya.
“Kalau kami investasi untuk solar cell, itu bisa 15 tahun sampai 20 tahun baru kembali,” imbuhnya.
Menurut Edy, PT MMP, pengembangan energi listrik dari hydropower menghadapi tantangan teknis seperti arus yang terlalu keras di daerah hulu dan jaringan distribusi yang minim.
“Energi listrik dari energi terbarukan yang misalnya air maupun solar cel enggak menarik kecuali kita dapat dana karbon untuk membangun itu,” tuturnya.
Aktif direaktivasi sumur0sumur tua
Pada bagian lain Edy mengungkap bahwa dalam kurung waktu 1-2 tahun ke depan, MMP Kaltim berfokus untuk mengoptimalkan bisnis migas agar bisa memaksimalkan pendapatan daerah.
Perusahaan tersebut, sambung Edi, sudah mulai terlibat dalam berbagai kegiatan penunjang hulu migas seperti pengeboran dan reaktivasi sumur idle.
“Kami sekarang ikut reaktivasi sumur-sumur yang ditinggal selama 6 bulan. Itu kemudian kami juga sekarang optimalisasi. Ada 12 sumur. Kami penggantinya PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur,” jelasnya.
Selain mengandalkan pendapatan dari participating interest, MMP mulai menangkap peluang dari kegiatan penunjang migas seperti menangani biaya pengeboran cash call dan menyediakan layanan pendukung lainnya.
“Cash call itu maksudnya biaya untuk ngebor 1 barel misalnya biayanya Rp 1 miliar. Itu kan yang dikeluarin. Nah, kami menangkap pekerjaan Rp 1 miliar. Itu jadi penunjang kegiatan,” tuturnya.
Ia mengatakan bahwa transparansi data lifting migas dan dana bagi hasil telah meningkat. Hal ini memungkinkan pemerintah daerah untuk lebih memahami dan mengoptimalkan pendapatan dari sektor migas.
Pembagian hasil migas diatur dengan proporsi tertentu, di mana 15% hingga 30% hasil produksi diberikan kepada pemerintah, sementara sisanya menjadi bagian kontraktor kontrak kerja sama.
“Menghitung itu dikalikan dengan SCPD. Kalau gas itu dihitung; dikonversi dengan minyak. Jadi, berapa kaki kubik dikonversi ke minyak itu. Sebenarnya lifting itu sudah bisa kalau dulu memang kita tidak transparan,” ungkapnya.
Ia mengatakan bahwa MMP telah berkolaborasi dengan PT MGRM untuk menjalankan tanggung jawab sosial. Hal ini diharapan bisa terus berlanjut untuk membantu masyarakat Kaltim.
“Kami sama-sama dengan MGRM membantu Unikarta. Kita bangun masjid,” pungkasnya.
Sumber: PT MMP Kaltim | Editor: Intoniswan
Tag: Perusda Migas