JAKARTA.NIAGA.ASIA – Rapat paripurna DPR untuk pengesahan RUU Pilkada, Kamis (22/08), ditunda karena jumlah anggota legislatif yang hadir tidak memenuhi batas minimum atau kuorum.
Merujuk tata tertib DPR, rapat paripurna dapat mengambil sebuah keputusan—termasuk mengesahkan sebuah rancangan undang-undang—apabila rapat tersebut dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota DPR dari minimal setengah fraksi yang ada.
Apabila jumlah minimum itu tidak tercapai, rapat dapat ditunda sebanyak dua kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 jam.
Jika setelah dua kali penundaan kuorum tidak juga tercapai, penyelesaian rapat itu akan diserahkan kepada Badan Musyawarah (Bamus) DPR.
Beberapa tugas Bamus antara lain menetapkan agenda DPR dalam satu masa persidangan serta menentukan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang.
Pada Kamis (22/08) pagi, rapat paripurna DPR dibuka sekitar pukul 09.30 WIB. Namun setelah 30 menit, batas minimum kehadiran anggota tidak terpenuhi. Tiga Wakil Ketua DPR yang memimpin rapat itu, Sufmi Dasco Ahmad, Lodewijk Paulus, dan Rachmat Gobel lantas menunda sidang hingga 30 menit.
Namun saat rapat dibuka kembali pada 10.00 WIB, rapat itu juga tidak memenuhi kuorum.
Kepada pers, Dasco menyebut tidak bisa menentukan sampai kapan rapat paripurna tersebut akan ditunda.
”Kami akan lihat mekanisme yang berlaku, apakah nanti mau diadakan rapat pimpinan dan Bamus. Itu ada aturannya,” kata Dasco, dikutip dari BBC News Indonesia.
“Saya belum bisa jawab, kami akan lihat lagi dalam beberapa saat ini,” tuturnya.
Pada Rabu (21/08), atau hanya berselang satu hari, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap sebagai “angin segar” bagi demokrasi “dibegal” melalui persetujuan revisi Undang-Undang Pilkada yang berlangsung kilat di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kata pengamat pemilu.
Delapan dari sembilan fraksi di DPR sepakat untuk hanya menerapkan sebagian putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah pada rancangan perubahan UU Pilkada.
Keputusan yang diambil dalam rapat kerja di Badan Legislasi DPR itu dianggap sebagai sebuah “pembangkangan” yang akan menghasilkan proses “demokrasi palsu” dalam pilkada 2024.
RUU Pilkada yang telah selesai dibahas oleh DPR dan pemerintah rencananya akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (22/08).
“Langkah-langkah DPR yang ingin mengubah apa yang menjadi isi putusan MK tentu saja bertentangan dengan konstitusi dan bisa disebut sebagai pembegalan atau pembangkangan terhadap konstitusi,” kata dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini.
Kalau revisi UU itu disahkan, maka peta pencalonan Pilkada akan kembali dikondisikan sesuai kepentingan para elite yang bersatu di dalam koalisi gemuk, kata pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor.
Partai-partai di parlemen yang dikucilkan dari koalisi seperti PDI-Perjuangan terancam tak bisa mengusung calon mereka sendiri. Ini setidaknya terjadi di DKI Jakarta.
Sebaliknya, revisi UU Pilkada soal batas usia akan membuka kembali peluang bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan diri.
‘Pembangkangan terhadap putusan MK’
Salah satu kesepakatan Baleg menyebut ambang batas parlemen dalam pilkada hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD.
Artinya, partai dalam kategori ini dapat mendaftarkan calon gubernur dan calon wakil gubernur dengan syarat yang tidak berkaitan dengan jumlah kursi mereka di DPRD. Ketentuan ini serupa dengan putusan MK yang diambil satu hari sebelumnya.
Meski begitu, Baleg tidak memasukkan dua putusan MK lain dalam RUU Pilkada. Konsekuensinya, partai maupun koalisi partai yang memiliki kursi di DPRD harus memiliki setidaknya 20% kursi di dewan legislatif daerah atau 25% akumulasi suara di daerah tersebut untuk dapat mengajukan calon kepala daerah.
Kedua, dalam rancangan perubahan UU Pilkada, batas usia paling rendah untuk calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun saat pelantikan. Sementara batas usia terendah kepala daerah di tingkat kabupaten/kota adalah 25 tahun pada saat pelantikan.
Syarat batas usia itu tidak sesuai dengan putusan MK. Sebaliknya, seluruh fraksi, kecuali PDIP, sepakat mengacu pada putusan Mahkamah Agung.
Dosen hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai DPR memilih putusan MK yang menguntungkan kepentingan tertentu.
“DPR jelas melakukan cherry picking,” kata Charles.
“Ini merupakan bentuk pembangkangan terhadap putusan MK,” tuturnya.
“Aturan awalnya hak itu hanya dinikmati partai politik yang ada di DPRD, tapi sekarang malah yang di DPRD yang tidak punya hak gara-gara tafsir sembarangan dan akal-akalan DPR,” kata Charles.
Charles berkata, putusan MK soal penghapusan ambang batas parlemen DPRD didasarkan pada upaya membentuk persaingan yang adil di antara partai politik. Namun, kata Charles, persaingan yang adil itu justru dijegal DPR.
“Itu kan lari dari pertimbangan MK, sebuah penghormatan dan pengakuan terhadap suara rakyat yang sudah diberikan kepada partai politik tertentu, sehingga partai itu juga harus diberi hak mengajukan kandidat,” ujar Charles.
“DPR mengakui putusan MK jika itu menguntungkan mereka, dan pada titik lain tidak mengakui putusan MK lainnya yang merugikan mereka.
Sumber: BBC News Indonesia | Editor: Intoniswan
Tag: Demo UU Pilkada