JAKARTA.NIAGA.ASIA – Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) menjadi terobosan dalam mengatasi tantangan desentralisasi fiskal, salah satunya terkait dana bagi hasil (DBH). Redesain DBH melalui UU HKPD bertujuan memperbaiki keseimbangan vertikal antara pusat dan daerah, serta mengurangi dampak negatif akibat eksplorasi sumber daya alam (SDA).
UU HKPD memberi kepastian alokasi DBH sehingga pengalokasian menjadi lebih presisi. Melalui beleid ini, pagu DBH ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan satu tahun sebelumnya (T-1) dan dengan memperhatikan kinerja daerah. Sebelumnya pada UU 33/2004, pengalokasian didasarkan pada rencana penerimaan tahun berikutnya. Artinya, potensi penerimaan DBH di 2023 akan dihitung berdasarkan realisasi di 2022, bukan berdasarkan proyeksi 2023.
Pengalokasian DBH pada UU HKPD juga menekankan aspek keadilan. Berbeda dengan UU 33/2004 yang hanya mengatur pembagian DBH kepada daerah penghasil dan pemerataan atau semua daerah di dalam suatu provinsi. Dalam UU HKPD, selain menerapkan prinsip by origin, artinya kabupaten/kota penghasil memperoleh persentase pembagian yang lebih besar daripada kabupaten/kota lainnya nonpenghasil, pengalokasian DBH juga memperhatikan eksternalitas atau dampak negatif.
Kabupaten/kota yang terdampak eksternalitas negatif dari kegiatan eksplorasi SDA mendapatkan alokasi DBH sebagai kompensasi, sekaligus untuk meningkatkan kapasitas daerah tersebut dalam menanggulangi dampak negatif lingkungan yang terjadi. Upaya tersebut akan mengurangi disparitas antardaerah.
“Ini mengakomodir keluhan yang disampaikan oleh daerah. Mungkin mereka punya dampak eksternalitas negatif dari misalnya kegiatan pengerukan Migas, tapi selama ini mereka tidak mendapatkan dana bagi hasil. Sekarang dengan adanya ketentuan baru ini, itu mereka akan terakomodir,” ungkap Peneliti CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet.
Di samping itu, penghitungan pengalokasian DBH juga mempertimbangkan aspek kinerja daerah. Terdapat dua pendekatan penghitungan yakni 90% penghitungan dilakukan berdasarkan formula dan 10% berdasarkan kinerja.
Pengalokasian DBH SDA misalnya memasukkan penilaian kinerja pemeliharaan lingkungan hidup/Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara DBH Pajak, mempertimbangkan kinerja optimalisasi penerimaan negara/skor kepatuhan penyampaian Berita Acara Rekonsiliasi (BAR) Pajak.
Tak hanya itu, UU HKPD juga membuka potensi bertambahnya pendapatan daerah. Misalnya dengan kenaikan DBH untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari 90% menjadi 100% atau sepenuhnya bagi pemda. Selain itu, DBH cukai hasil tembakau (CHT) juga mengalami peningkatan dari 2% menjadi 3%.
Sumber: Biro KLI Kementerian Keluangan.Polri | Editor: Intoniswan
Tag: DBH