Cerpen: Phelia Kaniswan

Tidak banyak orang yang masih menekuni pekerjaan sebagai tukang reparasi sepatu. Bisa dihitung dengan jari sekarang orang yang masih menekuninya di perkotaan. Pekerjaan ini biasanya turun temurun, dari bapak turun ke anak.
Pekerjaan sebagai tukang reparasi sepatu ini, meski terlihat sederhana, tapi diperlukan keterampilan khusus. Tukang reparasi sepatu harus memahami bahan sepatu yang akan diperbaiki, dan begitu pula dengan benang atau tali nilon yang akan digunakan.
“Saya baru menekuni pekerjaan ini dalam 10 tahun tahun terakhir, yakni setelah bapak saya meninggal. Dia juga tukang sol sepatu,” cerita Rusli.
Menurut Rusli, ada tukang reparasi sepatu yang berkeliling permukiman setiap hari dan apa pula yang menetap,
“Saya termasuk menetap, karena bapak dulu juga di rumah ini menerima perbaikan sepatu,” sambung Rusli yang tinggal di gang buntu di Sempaja Utara.
Rusli mengaku, dulu pekerjaan utamanya adalah supir angkot milik orang lain. Setelah angkotnya tua dan tidak diremajalan lagi dia beralih jadi supir truk sambil membantu bapaknya memperbaiki sepatu.
“Setelah bapak meninggal, orang datang terus minta perbaiki sepatu. Rata-rata yang datang adalah orang kelas bawah dan punya anak yang masih sekolah di sekolah dasar atau esempe,” ujarnya.
Sepatu anak sekolah masyarakat bawah, kan harganya yang murahan jadi cepat rusak, apalagi dipakai di musim hujan.
“Saya tidak tega juga menolak permintaan perbaikan sepatu, akhirnya saya fokus melanjutkan usaha bapak, usaha sol sepatu,” kata Rusli.
Setelah menekuni pekerjaan memperbaiki sepatu selama 10 tahun, kini Rusli sudah terkenal di kecamatan Samarinda Utara. Rusli yang berkumis tipis selalu tersenyum penuh hangat menyambut pelanggan yang kebanyak ibu-ibu rumah tangga.
“Penghasilan dari memperbaiki sepatu tidak menentu, tapi rata-rata bisa dapat uang Rp100 ribu/hari. Untuk menjahitkan sepatu anak sekolah, rata-rata ongkosnya Rp50 ribu. Ya kita syukuri,” ungkap Rusli.
Pelanggan yang datang memperbaiki sepatu, ada yang meninggalkan sepatunya untuk diambil dua hari kemudian, tapi ada juga menunggu dikerjakan hari itu juga.
Satu dua pelanggan yang masih muda biasa bertanya tentang kehidupan Rusli, bertanya tentang usianya, anak-anaknya, dan tentang cucunya.
Rusli tidak langsung menjawab pertanyaan ibu-ibu tersebut. Rusli hanya tersenyum dan berkata; “saya ini sudah tua biar saja saya mengurus diri saya sendiri, setidaknya saya sudah membesarkan anak cucu dengan baik,” ungkapnya.
Jawaban Rusli membuat pelanggan ada yang tidak setuju (tapi hanya dalam hati), kemudian diam karena tidak tahu harus menjawab apa. Mereka berpikir mungkin saja itu memang keinginan Rusli sendiri.
Tapi kalau bercerita yang sifatnya tidak pribadi, Rusli adalah lawan bicara yang hangat, terutama mengenai soal sepatu, bagaimana merawat sepatu agar tahan lama. Menurut Rusli, pada dasarnya sepatu anak sekolah bisa tahan dipakai 1-2 tahun, tapi itu juga tergantung cara memakainya.
“Sepatu cepat rusak kalau bagian tumitnya diinjak. Sepatu juga cepat rusak kalau dipakai dalam kondisi basah atau lembab. Sepatu yang dalam kondisi lembab, jika dipakai, cepat lepas telapaknya atau bagian bawahnya, sehingga perlu dijahit,” katanya Rusli kepada ibu Rustini yang rajin memperbaiki sepatu anaknya.
“Lebih baik sepatu untuk anak-anak sekolah, sehabis dibeli langsung dijahit, bukan setelah terbuka sambungannya baru dijahit,” sarannya.
Meski penghasilannya tidak banyak, hanya sekitar Rp100 ribu per hari, Rusli mengaku sudah puas sebab, anak-anaknya sudah mandiri semua dan dia juga tidak mengeluarkan uang untuk menyewa rumah.
“Yang saya senang dengan pekerjaan ini bisa menolong orang yang tidak cukup uang membeli sepatu baru bagi anaknya,” katanya.
Meski tidak mengahsilkan banyak uang, tapi Rusli mengaku selalu menyisihkan uang untuk keperluan cucunya yang berjumlah 5 orang. Setiap anak dan cucunya datang mengecek kondisinya, Rusli membagikan uang ke cucunya, untuk belanja es krim di warung sebelah tempat tinggalnya.
*) Phelia kaniswan adalah Pelajar Kelas XI SMAN 10 Samarinda
Tag: Cerpen