SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Buku ‘Rimba Kaban’ (RK) ini ditulis dan dikemas penulisnya Syafril Teha Noer (STN), layaknya sebuah novel. Namun buku yang diterbitkan Komunitas Kadang Samarinda tahun 2010 ini tak bisa dihindari menjadi sebuah autobiografi penulisnya.
RK seperti yang diakui penulisnya, terbangun dari rangkaian pengalaman dan kisah nyata dari seorang jurnalis dan budayawan STN yang mengalami modifikasi di beberapa bagian.
“Diusahakan sejujur mungkin, tapi juga layak diduga subyektif dalam beberapa hal,” aku STN di pengantar RK.
Seperti sebuah naskah drama, STN memerankan diri sebagai Kaban, tokoh utama dalam buku ini. Kaban dalam serangkaian 31 episode kehidupannya menyuguhkan semacam gambaran bahwa kesulitan memang dapat menjadi pemicu energi positif, selain biang kekalahan.
Bahwa digambarkan, sebuah proses pendidikan seyogianya memang bukan melulu urusan selembar kertas; dan bahwa toleransi adalah sumber daya, bagi para pemburu kematangan.
Di buku ini STN juga menyampaikan ikhtiar manusia mengatasi keterbatasan dan persoalannya dalam tema kehidupan di sekitar pendidikan, toleransi, persaudaraan dan religiusitas.
Sejatinya semua ihwal yang disampaikan itu memang terasa berat, tetapi dengan menggunakan bahasa yang ringan dan mengalir, STN mampu membuat pembaca betah mengikuti episode demi episode petualangan Kaban. Tidak membuat jidat pembaca berkerut, malam kadang ‘tekerinyum’ (tersenyum. Bahasa Banjar).
Buku RK pun ternyata dapat dipertanggungjawabkan sebagai bacaan yang berkualitas. Tak kurang seorang tokoh bangsa seperti Ahmad Syafii Maarif (almarhum) mengomentari buku ini.
“Novel ini dirangkai berdasarkan kisah nyata dari penulisnya, seorang wartawan terkemuka di Kaltim. Setelah lebih 30 tahun berpisah dengan kampus Madrasah Mu’allimin Jogjakarta, penulisnya kini berhasil merekam perjalanan panjang itu ke dalam karya sastra yang enak dibaca sebagai bahan renungan dan sumber inspirasi,” ucap pendiri Maarif Institute itu.
Sedang aktor teater Butet Kartarajasa, melihat RK merupakan oplosan pengalaman pribadi dengan kekuatan imajinasi. “Meski begitu ia tetaplah sebuah fiksi dan karenanya tetap menarik untuk dibaca.”
Sementara itu, budayawan Emha Ainun Nadjib mengaku sangat menikmati, menyelami lautan karya ini.
“Saya berlayar dan berjoget surfing di atas susunan-susunan dinamis ombak dan gelombang ijtihad-nya. Wahai Syafril, yang manakah yang sebenarnya engkau maksudkan dengan ‘rimba’? Yang manakah ‘rimba’ yang kau kembarai dan yang manakah ‘rumah’ yang kau semayami? Apakah Jogja itu rimbamu ataukah rumahmu? Demikian pun Samarinda itu rumahmu atau rimbamu? ” tutur Emha Ainun Nadjib seperti berpuisi.
Penulis: Hamdani I Editor: Intoniswan
Tag: Buku