Resesi Seks

Presiden Jokowi menepis kekhawatiran bahwa Indonesia menghadapi “resesi seks”. (Foto LKBN ANTARA)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Angka kelahiran yang terus menurun dan mundurnya usia pernikahan menimbulkan kekhawatiran bahwa Indonesia menghadapi “resesi seks”. Apakah Indonesia benar-benar kekurangan bayi?

Dalam pidato di acara Rakernas BKKBN di Jakarta, Rabu (25/01) Presiden Joko Widodo menyinggung tentang “resesi seks”. Jokowi menepis kekhawatiran bahwa Indonesia mengalami fenomena tersebut, dan mengatakan pertumbuhan penduduk masih meningkat.

”Pertumbuhan kita di rasio 2,1 dan yang menikah 2 juta, yang hamil 4,8 juta (dalam setahun), artinya di Indonesia enggak ada resesi seks,” kata Jokowi, seraya menambahkan bahwa pertumbuhan penduduk dapat menjadi kekuatan ekonomi suatu negara.

Namun demikian, pemerintah Jokowi sebenarnya menginginkan lebih sedikit bayi. Indonesia telah berusaha menekan angka kelahiran dalam beberapa tahun terakhir, dengan target 2,1 anak per ibu pada 2024.

Angka kelahiran total (total fertility rate) dikaitkan dengan generasi produktif, ekonomi, dan ujung-ujungnya Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara.

Pakar kependudukan memperingatkan bahwa upaya menekan angka kelahiran bisa kebablasan dan akhirnya membuat Indonesia kekurangan bayi, sebagaimana yang terjadi di negara-negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan.

Apa itu resesi seks?

Resesi seks adalah istilah yang digunakan media untuk menjabarkan fenomena berkurangnya jumlah orang yang aktif secara seksual.

Meskipun banyak media – terutama di Indonesia – mengaitkan istilah ini dengan memiliki anak, dua hal itu tidak selalu berkaitan karena orang-orang melakukan seks tidak hanya untuk prokreasi (mendapatkan keturunan).

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo tidak percaya di Indonesia ada resesi seks. Salah satu buktinya, ia menerangkan, angka perkawinan di Indonesia masih cukup tinggi.

“Indonesia itu setiap tahunnya ada 4,8 juta orang hamil. Kemudian setiap tahunnya ada dua juta orang menikah. Dari yang menikah itu, 1,6 juta hamil di tahun pertama,” kata Hasto kepada BBC News Indonesia.

Ia menambahkan, sebagian besar masyarakat Indonesia masih menikah dengan tujuan prokreasi.

Dan meskipun BKKBN mencatat kenaikan rata-rata usia menikah perempuan Indonesia, yaitu 22 tahun, mayoritas perempuan menikah pertama kali di usia 19-24 tahun – masih masuk dalam periode yang dianggap sebagai masa subur – menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Kor 2020.

GETTY IMAGES

Sejumlah negara di Asia Timur yang angka pernikahannya rendah seperti China, Korea Selatan, dan Jepang disebut mengalami resesi seks namun anggapan ini belum didukung oleh bukti ilmiah.

Sejauh ini, penelitian tentang resesi seks baru dilakukan di Amerika Serikat. Studi yang diterbitkan pada 2021 tidak menemukan bukti adanya resesi seks pada populasi pria, dan mengatakan bahwa tingkat ketidakaktifan seks di antara pria konstan seiring waktu.

Namun, para peneliti menemukan bahwa Generasi Z, mereka yang lahir antara tahun 2000 dan 2004, memiliki tingkat ketidakaktifan seks yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan generasi-generasi sebelumnya – dengan kata lain, mereka lebih jarang melakukan seks.

Menurunnya aktivitas seksual menjadi perhatian sebagian karena kehidupan seks yang aktif dikaitkan secara positif dengan kesehatan fisik dan jiwa.

Di Barat, ada komunitas involuntary celibate alias incel yaitu laki-laki yang tidak mampu menjalin hubungan romantis atau seksual dengan perempuan. Fenomena ini dikaitkan dengan beberapa aksi kekerasan, misalnya remaja usia 17 tahun yang menusuk seorang perempuan di Toronto, Kanada.

Apakah Indonesia kekurangan bayi?

Jawaban singkatnya, tidak. Angka kelahiran Indonesia memang telah menurun sejak 1960, namun Indonesia bisa dibilang masih kelebihan bayi.

Target angka kelahiran total yang dicantumkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah 2,1 anak per ibu. Saat ini angkanya sudah mendekati target yaitu 2,17 tapi masih ada yang perlu dilakukan sampai 2024, kata Hasto.

Alasan Indonesia belum mencapai target adalah masih ada sejumlah wilayah yang angka kelahirannya tinggi seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, Papua Barat, dan Maluku.

“Kalau nanti [angka kelahiran] di daerah-daerah itu turun, akan turun signifikan itu,” ujarnya.

Guru Besar Kependudukan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. Kemal N. Siregar menyebut target 2,1 ideal buat Indonesia. Angka tersebut merupakan replacement level yaitu jumlah kelahiran yang dapat menggantikan generasi sebelumnya sehingga pertumbuhan populasi tetap stabil.

“Kalau jumlah anaknya lebih kecil dari 2,1 itu berarti tingkat fertilitasnya turun banget. Artinya, dua orang tua tidak digantikan oleh dua anak,” kata Prof. Kemal kepada BBC News Indonesia.

Hal lain yang juga penting untuk menjaga replacement level ialah perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan. Di Indonesia, jumlahnya hampir setara. Menurut Susenas 2021, terdapat 101 penduduk laki-laki untuk setiap 100 penduduk perempuan.

Bagaimana situasi Indonesia dibandingkan negara-negara lain?

Indonesia berada di urutan keempat negara ASEAN dengan angka kelahiran tertinggi, menurut data Bank Dunia. Di atas Indonesia ada Kamboja, Laos, dan Filipina.

Di antara negara-negara ASEAN, Singapura memiliki angka kelahiran terendah yaitu 1,1 – jauh di bawah replacement rate.

Kondisi ekonomi dan sosial terbukti memengaruhi angka kelahiran. Seiring semakin banyak perempuan mendapat pendidikan dan bekerja, mereka cenderung memiliki lebih sedikit anak.

Secara umum, Bank Dunia mencatat angka kelahiran total di dunia merosot sejak 1960. Ini membuat beberapa orang, termasuk CEO Twitter Elon Musk, khawatir populasi dunia akan “kolaps”.

Mengapa pemerintah Indonesia ingin menekan angka kelahiran?

Angka kelahiran di Indonesia terus menurun sejak program Keluarga Berencana (KB) dimulai pada tahun 1970-an dengan slogan “dua anak cukup”.

Pemerintah ingin membatasi jumlah anak demi mendapatkan bonus demografi. Hal itu bisa tercapai bila kelompok usia produktif, 15-64 tahun, tidak banyak menanggung balita dan lansia.

Pemerintah meyakini bonus demografi ini perlu dicapai supaya Indonesia bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap.

“Ketika suatu penduduk yang angkatan kerjanya besar, tapi tidak dibebani balita yang terlalu besar, dan tidak dibebani lansia yang terlalu besar, maka akselerasi pertumbuhan ekonominya. Di situlah pendapatan perkapitanya naik,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo.

Beberapa perempuan juga bertekad untuk memiliki lebih sedikit anak dari orang tua mereka, meskipun belum ikut program KB. Salah satunya Lia, 32 tahun, yang tinggal di Jakarta.

Perempuan itu ingin membatasi jumlah anak hingga dua saja, sementara orang tuanya punya lima anak. Lia mengatakan keputusan itu didorong oleh realisasi akan beban memiliki anak pada mental dan finansial rumah tangganya.

“Dua itu cukup lah. Supaya bisa ngasih semuanya yang terbaik,” ujarnya.

Selain menurunkan angka kelahiran, program KB juga menurunkan kematian ibu dalam 50 tahun terakhir di Indonesia..

Namun, banyak pengamat mengkritik bahwa program KB di Indonesia masih timpang gender dan diskriminatif pada perempuan. Hal ini terlihat dari hasil survei BKKBN pada 2018 yang menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam penggunaan kontrasepsi sebesar 96,7% sementara partisipasi laki-laki hanya 3,3%.

Hasto menyebut sedikitnya pilihan kontrasepsi bagi laki-laki menyebabkan partisipasi yang rendah. Namun, pengamat berargumen bahwa negara hampir tidak pernah memprioritaskan promosi kontrasepsi pada laki-laki.

Apa akibatnya bila suatu negara kekurangan atau kelebihan bayi?

Ketika suatu negara punya terlalu sedikit bayi, maka replacement rate tidak akan tercapai. Sebaliknya ketika jumlah bayi terlalu banyak, negara itu akan menjadi kurang produktif karena tidak mendapatkan bonus demografi, Prof. Kemal menjelaskan.

“Sifatnya itu [terkait dengan] ekonomi negara, yang kita kenal sebagai GDP (Gross Domestic Product, GDP),” ujarnya.

Namun, beberapa pengamat mewanti-wanti bahwa upaya Indonesia menekan angka kelahiran bisa jadi kebablasan sehingga berujung pada angka kelahiran yang terlalu rendah.

“Karena belum ada pengalaman negara-negara lain itu yang berhasil menahan fertilitas. Fertilitas itu kecenderungannya kalau turun terus turun,” kata Dr. Sukamdi, pakar kependudukan di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.

Hal itu terjadi pada beberapa negara seperti China, Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura yang gencar mempromosikan keluarga berencana pada abad ke-20. Sekarang, mereka mati-matian mendorong warganya untuk menikah dan punya anak.

China, misalnya, pernah memberlakukan kebijakan satu anak untuk menekan angka kelahiran. Kebijakan ini, serta budaya di negara itu yang secara tradisional lebih memilih anak laki-laki, telah membuahkan ketimpangan gender yang amat parah. Kebijakan satu anak diakhiri pada 2016 dan pada 2021, China mengizinkan pasangan memiliki sampai tiga anak.

Pertumbuhan populasi di China begitu melambat sehingga PBB memperkirakan India akan segera menyalip China sebagai negara dengan penduduk terbanyak di dunia.

Apalagi, imbuh Sukamdi, banyak perempuan di Indonesia – terutama di perkotaan – menunda untuk punya anak dan bahkan di kalangan pasangan yang sudah menikah mulai muncul tren childfree yaitu memilih untuk tidak punya anak.

Tapi Hasto percaya bahwa budaya dan agama dapat menjadi “penyeimbang” upaya menekan angka kelahiran. Ia mengatakan kebanyakan warga Indonesia, negara mayoritas Muslim, menikah dengan tujuan memiliki anak.

“Di Indonesia mayoritas Islam, tidak seperti di Jepang, tidak seperti di Korea. Semua orang beragama Islam yang nikah, berkeluarga, punya anak itu tujuan utama.

“Kultur itu jadi rem. Secara alami ada remnya, yaitu kultur dan agama,” ujarnya.

**) Artikel ini bersumber dari BBC News Indonesia yang sudah tayang dengan judul; “Resesi seks: Apakah Indonesia kekurangan bayi?

Tag: