Rudy Mas’ud: Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang Batubara Luar Biasa Parah

Ruas jalan provinsi yang rusak akibat aktivitas tambang batubara CV Prima Mandiri di Kelurahan Dondang, Muara Jawa Kukar. (Foto: Istimewa/Niaga.Asia).

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Anggota Komisi III DPR RI dari Dapil Kalimantan Timur (Kaltim), H Rudy Mas’ud mengakui, kerusakan lingkungan akibat tambang batubara di Kaltim, luar biasa parah.

Tapi, lanjut Rudy, selama ini tidak ada aduan masuk ke Komisi III DPR RI, terkait dugaan adanya pelanggaran hukum oleh perusahaan tambang batubara di Kalimantan Timur (Kaltim) yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, tidak terlaksananya reklamasi dan reboisasi di bekas lahan tambang.

“Meski demikian, fakta yang dapat dilihat, lingkungan memang sudah rusak, baik oleh perusahaan tambang batubara, baik yang legal maupun ada izinnya,” kata Rudy Mas’ud  menjawab pertanyaan wartawan dalam acara  silaturahmi lebaran Idul Fitri 1445 Hijriah dan bincang-bincang soal isu pencalonannya di Pilgub Kaltim 2024  di komplek galangan kapal PT Barokah Perkasa Grup di Pulau Atas, Sambutan, Samarinda, Jum’at, (12/4/2024).

Selama silaturahmi lebaran Idul Fitri 1445 Hijriah dan bincang-bincang dengan wartawan, Rudy Mas’ud  didampingi istrinya, Hj Hj Sarifah Suraidah.

Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (disingkat Komisi III DPR RI) adalah salah satu dari sebelas Komisi DPR RI dengan lingkup tugas di bidang hukum, hak asasi manusia, dan keamanan.

“Saya di Komisi III juga heran, kenapa tidak ada yang mengadu ke Komisi III DPR RI, baik oleh kepala daerah maupun kelompok-kelompok masyarakat dari Kaltim,” ujar Rudy.

Menurut Politisi Partai Golkar ini, secara hukum yang diketahuinya adalah, berdasarkan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), Pemerintah Pusat kembali mengambil kewenangan atas penerbiatan izin Minerba, termasuk urusan pelaksanaan  reklamasi, reboisasi dan pengelolaan dana jaminan reklamasi.

“Saat kewenangan urusan penerbitan izin tambang batubara di daerah dan pelaksanaan reklamasi, serta pengawasan di daerah, kerusakan lingkungan oleh  usaha tambang juga sudah parah,” ujarnya.

“Kita tunggu saja apa yang akan diperbuat kementerian ESDM atas kerusakan lingkungan oleh usaha tambang selama ini.”

Lubang menganga di eks areal tambang Tanito Harum (foto : HO/Jatam Kaltim)

Rudy menduga, yang membuat kepala daerah saat punya kewenangan atas urusan tambang batubara membiarkan usaha tambang merusak lingkungan dan  membiarkan perusahaan tambang tidak melaksanakan reklamasi, karena terafiliasi atau punya kontektivitas dengan pengusaha tambang batubara baik yang berizin maupun yang ilegal.

“Makanya tak ada satupun yang mengadukan secara resmi atas pelanggaran hukum oleh perusahaan tambang yang menimbulkan kerusakan lingkungan ke Komisi III DPR RI,” sambungnya.

Usaha tambang batubara menimbulkan kerusakan masif di Kaltim, karena menambang open pit, tambang terbuka, mengupas permukaan tanah untuk mendapatkan batubara. Model menambag terbuka itu lebih mura biayanya, tapi menimbulkan kerusakan luar biasa.

“Saya tidak pernah tertarik punya usaha tambang batubara, karena itu, kerusakan yang ditimbulkannya luar biasa,” tegas Rudy.

Dari itu pula, lanjutnya, bila dipilih rakyat Kaltim jadi gubernur Kaltim di Pilkada 2024, akan membicarakan langsung tentang bagaimana memulihkan kerusakan lingkungan hidup di kaltim akibat tambang batubara dengan menteri ESDM dan menteri LHK.

“Kita tak bisa memulihkan kerusakan lingkungan tanpa bantuan menteri ESDM dan LHK. Kita tidak perlu gengsi-gengsian minta bantuan ke pemerintah pusat,” ucapnya.

Pencairan Jamrek tak didukung  fakta

Berdasarkan data yang diperoleh Niaga.Asia, pada tahun 2020, saat jaminan tambang batubara, meliputi jaminan reklamasi dan paska tambang) pengelolaanya masih berada dalam kewenangan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kaltim, jaminan tambang sebesar Rp129 miliar lebih dicairkan ke 56 perusahaan tambang batubara.

Tapi berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Kaltim, tidak ditemukan satupun dokumen yang menyatakan bahwa 56 perusahaan yang mencairkan jaminan tambang atau lebih dikenal dengan sebutan jamrek telah melaksanakan reklamasi di lokasi tambang batubaranya.

Dokumen pendukung bahwa perusahaan telah melakukan reklamasi yang tidak ditemukan, kata BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Nomor:24.B/LHP/XIX.SMD/V/2021, Tanggal 27 Mei 2021, yakni permohonan pencairan jaminan dari perusahaan tambang batubara atau pemegang IUP/IUPK.

Selanjutnya, tak ditemukan dokumen bahwa Inspektur Tambang dari Kementerian ESDM bersama Dinas EDM Kaltim melakukan penilaian keberhasilan atas keberhasilan reklamasi tersebut dengan cara evaluasi dokumen laporan pelaksanaan kegiatan reklmasi, peninjauan lapangan dan penilaian keberhasilan reklamasi yang dituangkan dalam Berita Acara Penilaian Keberhasilan Reklamasi.

“Berita Acara Penilaian Keberhasilan Reklamasi adalah dokumen yang menjadi dasar bagi Dinas ESDM menerbitkan Persetujuan Teknis Pencairan Jaminan Tambang oleh ESDM,” kata auditor BPK dalam laporannya.

Selanjutnya Persetujuan Teknis Pencairan Jaminan Tambang oleh ESDM menjadi dasar DPMPTSP untuk melakukan pengurusan SK Persetujuan Gubernur atas Pencairan Jaminan Tambang.

“Dokumen yang demikian itu tak ditemukan,” sambung BPK.

Menurut BPK, mutasi keluar (pencairan) jaminan tambang sebesar Rp219.088.300.152 beresiko tidak diterima oleh perusahaan yang bersangkutan.

BPK dalam lampiran 28 LHP-nya  menuliskan, jaminan tambang sebesar Rp219 miliar tanpa didukung dokumen sebagai bukti 56 perusahaan telah melaksanakan reklamasi, tersebar di 7 kabupaten/kota, yakni di Kabupaten Kutai Kartanegara sebanyak 24 perusahaan, di Kutai Barat (2),  Berau (2), Samarinda (1), Paser (11), Penajam Paser Utara (9), dan di Kabupaten Kutai Timur 6 perusahaan.

Penyerahan Jaminan Reklamasi itu oleh DPMPTSP Kaltim ke “perusahaan tambang” di mulai pada 15 Januari 2020 hingga bulan Juli 2021. Transaksi terbanyak terjadi pada bulan Februari 2020, yakni 21 tranksaksi.

Pengelolaan Jaminan Tambang yang demikian, lanjut BPK, tidak sesuai dengan Pasal 35 PP Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang yang berbunyi; “Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dapat mengajukan permohonan pencairan atau pelepasan jaminan reklmasi kepada Meteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan tingkat keberhasilan reklamasi”.

Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan

Tag: