OPINI REDAKSI NIAGA.ASIA

Kemarin, banyak orang seperti terhipnotis setelah beredar di media sosial vidio yang menggambarkan dua anggota DPRD Samarinda marah-marah dalam rapat dengan Dinas PUPR Kota Samarinda yang diwakili oleh PPK Proyek Teras Samarinda yang dilaporkan bernama Ilham. Sedangkan pihak yang marah-marah dari anggota DPRD Samarinda adalah Abdul Rohim dan Anhar.
Abdul Rohim tidak hanya melakukan kekerasan verbal terhadap Ilham, tapi juga melakukan kekekrasan fisik dengan melempar Ilham dengan kotak berisi makanan ringan. Ilham yang tidak terima, bereaksi dengan berjalan mendatangi kursi dimana Rohim duduk.
Untungnya kejadian memalukan, seperti terjadi adu fisik antara keduanya, karena piahk keamanan dalam dan undangan lain dalam rapat berhasil memisahkan keduanya.
Pokok permasalahan antara keduanya adalah adanya masuk surat pengaduan dari LSM yang mendampingi sejumlah buruh proyek Teras Samarinda tahun 2024 yang belum dibayar gajinya hingga kemarin.
Secara hukum, sebetulnya tidak ada hubungan hukum antara Dinas PUPR dengan buruh yang menuntut sisa gajinya dibayar. Secara hukum, hukungan hukum antara Dinas PUPR dengan kontraktor Proyek Teras Samarind, PT Samudra Anugrah Indah Permai, sudah berakhir. Secara hukum, juga tidak ada hubungan hukum antara buruh yang belum dilunasi gajinya dengan PT Samudra Anugrah Indah Permai.
Jadi terasa aneh juga kalau anggota DPRD Samarinda marah-marah dengan PPK Proyek Teras Samarinda.
Permasalahan sisa gaji buruh Teras Samarinda yang belum terbayar, sebetulnya juga dilaporkan LSM yang sama ke Dinas Tenaga Kerja Samarinda. LSM tersebut melaporkan PT Samudra Anugrah Indah Permai belum melunasi kewajibannya kepada buruh. Penanganan masalah di Disnaker juga macet.
Sekarang ini, yang jadi pertanyaan, kenapa hal yang terlihat mudah, hanya soal uang sekitar 200 jutaan tapi penyelesaiannya berlarut-larut.
Persoalan upah buruh ini berlarut-larut atau jadi tapuntal-puntal, karena ada penggalan dari rantai masalah yang hilang, atau sengaja dipoton, atau terpotong tanpa sengaja sebelum membuat kesimpulan bahwa, kontraktor utama Proyek Teras Samarinda yang berkewajiban secara hukum membayar gaji buruh, dan Dinas PUPR secara moral juga harus bertanggung jawab.
Buruh Teras Samarinda yang belum dilunasi gajinya tersebut, sebetulnya bekerja di Proyek Teras Samarinda dibawa oleh orang berinisial A, warga Bekasi Jawa Barat yang sudah saling kenal dengan orang dalam PT Samudra Anugrah Indah.
Keduanya membuat perjanjian lisan/tidak tertulis, A mencarikan buruh yang punya keahlian tertentu yang diperlukan mengerjakan Proyek Teras Samarinda. Atas jasanya itu A mendapatkan bayaran dalam jumlah tertentu dari PT Samudra Anugrah Indah.
Perjanjian lisan yang dibuat A dengan PT Samudra Anugrah Indah, tidak berjalan mulus. Pada bulan Juli atau Agustus 2024, sebetulnya pembayaran dari PT Samudra Anugrah Indah sudah tidak lancar. Menurut keterangan A, hanya dua kali pembayaran dari PT Samudra Anugrah Indah, berjalan lancar.
Kalau masalah ini dibawa ke ranah hukum dan DPRD Samarinda ingin masalah ini ada titik terangnya adalah dengan memanggil A untuk didengar penjelesannya dalam rapat resmi. DPRD Samarinda punya hak melayangkan surat panggilan ke A sampai 2-3 kali. Bahkan punya hak minta bantuan kepada Kepolisian untuk menghadirkan A secara paksa ke DPRD Samarinda.
A sendiri sebagai orang yang mengkoordinir dan menyuruh buruh bekerja di Proyek Teras Samarinda, juga bisa dilaporkan DPRD Samarinda atau LSM Pendamping Buruh ke Kepolisian dengan sangkaan telah melakukan penipuan, penggelapan gaji buruh, bahkan bisa juga dilaporkan dengan dugaan telah melakukan TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang).
Jadi, tidak seharusnya anggota DPRD marah-marah, apa lagi kepada orang yang secara hukum tidak terkait langsung dengan tidak terbayarnya gaji buruh Proyek Teras Samarinda.@
Tag: Opini Redaksi