EDITORIAL NIAGA.ASIA

Donald Trump terlanjur menang di Pilpres Amerika Serikat (AS) Nopember tahun lalu. Banyak negara, apalagi negara mayoritas penduduknya muslim, berdoa agar Trump kalah, dan begitu juga dengan negara yang neraca perdagangannya dengan AS surplus.
Trump yang orang swasta murni dengan latar belakang pengusaha property, seperti janji-janjinya sewaktu kampanye, melakukan efisiensi di semua lini. Dia tidak mau lagi uang pembayar pajak dihabiskan untuk memberi makan imigran gelap yang jadi gelandangan di seantero negara bagian AS.
Dia juga tidak mau lagi uang dari pajak rakyat digunakan membayar gaji pegawai federal yang dinilainya, jumlahnya lebih banyak dari yang dibutuhkan. Untuk mengefisienkan uang yang dipakai untuk membayar gaji pegawai federal, Trump menawarkan pensiun dini kepada ratusan ribu pegawai federal dengan sejumlah kompensasi.
Tidak hanya itu, dia juga menghentikan bantuan dana (hibah) ke berbagai organisasi sosial di banyak negara maupun organisasi dibawah naungan PBB yang dinilainya hanya menghabis-habiskan uang rakyat AS.
Tapi yang akan berdampak signifikan dan menimbulkan efek berantai adalah sikapnya yang menolak neraca perdagangan AS defisit berkepanjangan dengan banyak negara. Trump menetapkan tarif bea masuk baru, hingga mencapai 25% dari nilai barang yang berasal dari negara-negara yang selama ini sudah menikmati surplus dari perdagangan dengan AS.
Pada tahap awal, sepertinya uji coba, Trump menaikkan tarif bea masuk atas sejumlah barang dari Meksiko, Kanada, dan China. Bahkan menurut Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, Trump tidak hanya menyasar tiga negara tersebut, tapi juga bisa menyasar Indonesia, karena neraca perdagangan Indonesia dengan AS, Indonesia surplus terus menerus dalam waktu sudah cukup lama.
Surplus perdagangan China dengan AS tahun 2024 mencapai USD 49,05 miliar, dengan ekspor dan impor masing-masing naik 2,3% dan 2,4%. Neraca perdagangan AS dengan Meksiko defisit pada bulan Februari 2025 sebesar US$161,01 miliar. Impor AS dari Meksiko lebih tinggi daripada ekspor AS ke Meksiko.
Sementara itu, dengan Kanada untuk perdagangan jasa, Kanada secara konsisten mencatat defisit dengan AS, terutama karena jasa perjalanan. Adapun, ketika perdagangan barang dan jasa digabungkan, Kanada mencatat surplus perdagangan keseluruhan sebesar US$94,4 miliar dengan AS pada tahun 2023.
Neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) selalu surplus sejak 2014. Pada Februari 2025, neraca perdagangan Indonesia surplus USD3,12 miliar. Komoditas ekspor Indonesia ke AS antara lain mesin dan peralatan listrik, garmen, lemak dan minyak hewan atau nabati, alas kaki, serta produk hewan air.
Trump yang sepertinya sudah muak negaranya hanya jadi pasar baik produk mancanegara, kebijakan tarif tinggi tidak hanya ditujukan kepada negara China, tapi melebar ke negara-negara yang tergabung dengan Uni Eropa. Trump kesal, saat dari negara Eropa surplus dalam pedagangan dengan AS, tapi AS tetap harus mengeluarkan dana untuk kepentingan NATO, organisasi pertahanan negara-negara Eropa.
Trump yang secara langsung selalu tampil sebagai kaum ultranasionalisme, tentu ingin mengembalikan kedigdayaan negara di bidang ekonomi. Bagimana jalannya, Trump hanya peduli pada nasion-nya. Trump mengabaikan komitmen-komitmen internasional. Trump mengkampanyekan kembali “Bor Bor” atau dengan kata lain tingkatkan produksi migas AS sebanyak-banyak.
Terakhir malahan Trump dengan segala cara mau mencaplok terusan Panama dari perusahaan yang sekarang mengelola lalulintas kapal dagang di terusan tersebut. Kalau ini jadikan kenyataan, Trump akan menetakan seenak perutnya tarif kapal dagang yang melintasi terusan Panama sebelum masuk ke AS.
Kemudian jika perang tarif antara AS dengan China berlanjut, dan membuat ekonomi China kesulitan, dampaknya bisa merembet ke Indonesia, karena China adalah mitra dagang utama Indonesia. Ekspor Indonesia ke China bisa melambat. @
Tag: Perdagangan