
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Ketua IAP (Ikatan Ahli Perencana Indonesia), Carma Riati, mengatakan, penting menjadikan angka pengangguran yang dapat diserap sebagai tolok ukur utama dalam menilai keberhasilan program ekonomi hijau (green economy) dan ekonomi biru (blue economy) di Kalimantan Timur (Kaltim).
Hal ini disampaikannya dalam Forum Lintas Perangkat Daerah yang membahas terkait penyusunan Rencana Strategis (Renstra) PD Tahun 2025–2029 dan Rencana Kerja (Renja) PD Tahun 2026.
Nona, sapaan akrab Carma Riati mengatakan, selama ini keberhasilan program green dan blue economy terlalu banyak diukur dari aspek teknis dan lingkungan, sementara dari sisi ketenagakerjaan justru belum mendapatkan perhatian serius.
“Salah satu komponen yang paling penting dalam penilaian green dan blue economy seharusnya adalah pengangguran. Apakah program ini mampu menyerap tenaga kerja atau tidak,” ujarnya.
Program pembangunan berkelanjutan lanjut dia, seharusnya tidak bisa dipisahkan dari tujuan mengurangi pengangguran. Karena itu, pemerintah daerah perlu menyatukan persepsi dan menyinergikan sub-kegiatan lintas sektor agar output program benar-benar menyasar pengurangan pengangguran.
“Output itu adanya di sub-kegiatan. Kalau itu tidak sinkron, dampaknya ke pengangguran jadi kecil. Padahal itu justru menjadi indikator keberhasilan paling nyata yang bisa dirasakan masyarakat dan akan berdampak terhadap pencapaian sasaran dari RPJMD,” tambahnya.
Senada dengan itu, Dana, perwakilan IAP yang juga tergabung dalam Tim D3 TLH (Teknik Lingkungan Hidup) dari KLHK dan DLH, pun turut menilai bahwa keberadaan pendidikan vokasi di Kaltim belum sinkron dengan lokasi kebutuhan industri.
“Tenaga kerja ekonomi hijau itu lokasinya hutan dan kebun yang jauh. Kira-kira SMK-nya di situ enggak, lokasi mereka belajar dengan penempatannya tepat di situ enggak,” tanyanya.
Ia merasa banyak lulusan jurusan perkebunan, pertanian, kehutanan dan lainnya yang justru bekerja di luar sektor.
“Jangan sampai lulusan perkebunan kerjanya malah di bank atau asuransi dan sebagainya. Ketepatan itu perlu menjadi catatan, karena berkenaan dengan output dan impact-nya,” tegasnya.
Menanggapi itu, Sekretaris Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim Aji Syahdu Gagah Citra mengakui tantangan ini. Ia menyebutkan, pengembangan industri hijau dan biru harus lebih dulu dilakukan agar tercipta permintaan tenaga kerja yang spesifik.
“Tugas kami itu melatih tenaga kerja agar mereka menjadi kompeten sesuai kebutuhan pasar. Tapi kan industrinya dulu yang harus tumbuh, baru bisa kita petakan kompetensi dan buat silabus pelatihannya,” tutupnya.
Ia menambahkan, pihaknya membuka ruang kerja sama untuk pemagangan dan pelatihan kompetensi yang nantinya bisa mendukung pengembangan tenaga kerja sektor hijau dan biru.
“Kami punya program yang bisa disinergikan. Tapi orientasinya tetap ke kebutuhan pasar kerja. Karena akhirnya, itu yang menentukan apakah pelatihan kami berdampak atau tidak,” pungkas Aji.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan | ADV Diskominfo Kaltim
Tag: ekonomi biru