SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Ada yang berkeinginan lubang-lubang bekas galian batubara dijadikan destinasi wisata, karena perusahaan yang menambang batubara sudah “kabur” dan tidak ditemukan lagi alamatnya.
Bagaimanakah sebetulnya regulasi mengenai lubang-lubang bekas galian? Peraturan reklamasi tambang tertuang di dalam Pasal 161 B ayat (1) UU No 3 Tahun 2020. Adanya undang-undang ini akan mewajibkan seluruh perusahaan menutup lubang-lubang bekas galian.
Selain itu ada pula Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Isi Pasal 161B ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 mengatur bahwa setiap orang yang IUP atau IUPK-nya dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan reklamasi dan/atau pascatambang, akan dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Pasal 180 (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyampaikan rencana dan biaya pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat sebagai bagian dari RKAB kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan.
Di Pasal 180 (2) disebutkan Alokasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan dikelola langsung oleh pemegang IUP atau IUPK.
Meski sudah ada regulasi yang mengatur kewajiban perusahaan atas lubag-lubag bekas galian batubara, tapi dampak dari kegiatan tambang saat ini masih belum terselesaikan dengan optimal, dampak lingkungan berupa kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tambang, seperti pencemaran air, deforestasi, dan hilangnya keanekaragaman hayati menjadi dampak yang paling dominan.
Hal itu mengemuka dalam Risalah Kebijakan Kelompok A-1 atau Kelompok I, peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat II di BPSDM Provinsi Kalimantan Timur dengan judul ”Akselerasi Strategi Implementasi Ekonomi Pasca Tambang untuk Mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan”.
Risalah Kebijakan ini disampaikan oleh Marselinus Jebaru, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam seminra yang dilaksanakan di BPSDM Kaltim 31 Oktober 2024.
Begitu pula kesejahteraan masyarakat lokal yang tidak mendapatkan manfaat ekonomi yang sepadan dengan kerugian yang mereka alami, seperti kehilangan lahan pertanian dan akses terhadap sumber daya alam, bahkan hak atas jalan umum yang seringkali masih digunakan oleh kendaraan tambang.
“Akibatnya muncul ketidakpuasan sosial, konflik antara perusahaan tambang dan masyarakat yang menuntut keadilan dan kompensasi,” ujar Marselinus.
Dari dampak yang belum terselesaikan tersebut, mengakibatkan masalah kesehatan masyarakat dengan meningkatan penyakit akibat polusi dan perubahan lingkungan.
Kemudian, ada juga migrasi atau perpindahan penduduk karena lahan yang tidak bisa lagi dimanfaatkan. Ketidakstabilan ekonomi juga terdampak akibat ketergantungan pada sektor tambang yang berisiko tinggi terhadap fluktuasi harga komoditas global.
Akhir-akhir ini terjadi kecelakaan di jalan raya di salah satu kabupaten di Kalimantan Timut yang berkaitan langsung dengan kendaraan tambang yang menggunakan jalan umum.
Masyarakat lokal menjadi objek yang bersinggungan langsung dengan dampak aktivitas tambang, begitu pula Pemerintah Daerah yang dianggap masyarakat memiliki bertanggung jawab atas regulasi dan pengawasan aktivitas tambang.
“Namun yang terjadi sebenarnya adalah kewenangan Pusat dalam memberikan izin. Perusahaan tambang selaku pemilik dan operator tambang yang beroperasi di daerah tersebut belum sepenuhnya berkomitmen dan menjalankan regulasi dalam menjaga lingkungan,” kata Marselinus.
Maka dengan pengawasan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memperjuangkan hak-hak masyarakat dan lingkungan, sert akademisi selaku peneliti yang memberikan analisis dan rekomendasi berdasarkan data dan memberikan pertimbangan kebijakan yang tepat bagi seluruh stakeholders.
Menurut Peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat II ini, beberapa daerah telah berhasil menerapkan program CSR (Corporate Social Responsibility) yang menguntungkan masyarakat, seperti program pendidikan dan infrastruktur, salah satunya adalah Provinsi Kepulauan Riau.
“Dari hasil Visitasi Kepimpinan Nasional 2 Angkatan XXIV Tahun 2024, salah satu kunci keberhasilan mengatasi dampak tambang adalah komitemen yang kuat untuk menjalankan regulasi tanpa terkecuali dari stakeholder tertinggi (Kepala Daerah) hingga ke lapisan terbawah,” ujar Marselinus mewakili Peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat II.
Oleh karena itu, lanjutnya, penting adanya manajemen risiko yang menjadikan dampak kegiatan tambang makin tidak terkendal, misanya kurangnya ketegasan atas regulasi yang ada, kebijakan yang ada seringkali tidak diikuti oleh penegakan hukum yang kuat.
“Kepentingan Ekonomi dalam prioritas yang lebih besar pada pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan. Serta minimnya melibatkan partisipasi masyarakat,dalam proses pengambilan keputusan sehingga menyebabkan ketidakpuasan dan konflik,” pungkasnya.
Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan | Adv Diskominfo Kaltim
Tag: batubaraLingkungan Hidup