SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) membeberkan, modus politik uang pada Pemilu dan Pilkada yaitu dengan cara memberi secara langsung, membagikan barang, dan mengumbar janji.
Selain dalam bentuk riil, pemberian uang secara langsung juga dilakukan dalam bentuk voucer belanja atau uang digital.
“Pelaku politik uang berharap masyarakat akan memilihnya,” ujar Komisioner Bawaslu Lolly Suhenty, hari Senin (14/8/2023).
Menurut dia, nominal yang diberikan berkisar antara Rp20 ribu hingga Rp200 ribu.
“Buat masa depan Indonesia, ini harga yang sangat murah,” ucap Lolly.
Sedangkan pembagian barang biasanya berbentuk perlengkapan ibadah, bahan bangunan, kompor gas, hadiah lomba, dan mesin rumput.
“Sementara janji yang diumbar berupa imbalan uang, barang, maupun proyek atau pekerjaan di masa tenang,” ucap Lolly.
Bawaslu menyatakan pelaku politik uang tidak hanya berasal dari kandidat dan tim suksesnya. Tetapi juga aparatur sipil negara (ASN), penyelenggara kegiatan adhoc untuk kampanye, serta simpatisan parpol atau caleg.
Berdasarkan pemetaan Bawaslu soal IKP (Indeks Kerawanan Pemilu), Provinsi Maluku Utara tercatat sebagai paling rawan politik uang. Disusul kemudian oleh Lampung, Jawa Barat, Banten, dan Sulawesi Utara.
Namun, berdasarkan agregasi tiap kabupaten/kota, Papua Pegunungan menjadi provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi politik uang. Selanjutnya Sulawesi Tengah, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Banten, Lampung, Papua Barat, Jawa Barat, Kepulauan Riau, dan Maluku Utara.
Sedangkan kabupaten dengan kerawanan isu politik uang tertinggi adalah Jayawijaya di Provinsi Papua Pegunungan. Disusul Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan (Sulawesi Tengah), Sekadau (Kalimantan Barat), dan Lampung Tengah (Lampung).@
Tag: politik uang