Warga Ini Tidur Dalam Bisingnya Aktivitas Penambangan Batubara

Aktivitas PT ABN menambang batubara yang cukup denkat dengan rumah warga RT 9, Kelurahan Jawa, Kecamatan Sanga Sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara. (Foto Istimewa)

SANGASANGA.NIAGA.ASIA – Sebagian dari warga Kelurahan Jawa, Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara ini tidur baik siang maupun malam hari dalam bisingnya aktivitas penambangan batubara PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN), yang berjarak hanya sekitar 30 hingga 50 meter dari rumah mereka.

Permukiman warga RT 09 yang dulu hijau kini berganti dengan tanah terbuka dan galian tambang menganga. Suara bising alat berat, serta debu yang beterbangan ke rumah-rumah membuat warga r resah dan sangat terganggu.

Berdasarkan pantauan awak media di lokasi Keluarahan Jawa, Selasa (11/2/2025), truk pengangkut batubara hilir-mudik di antara lubang-lubang tambang. Beberapa rumah warga bahkan terlihat berada tak jauh dari tepi area penambangan batubara, hanya dipisahkan oleh semak-semak dan beberapa meter lahan.

Kondisi ini membuat masyarakat khawatir akan dampak kesehatan dan keselamatan mereka, terutama jika terjadi longsor. Beberapa dari warga di sana pun mengeluhkan masalah ini ke paralegal warga Sangasanga, Nugraha Pradana.

“Warga ngeluh ada tambang di belakang rumah mereka. Karena mereka takut ada longsor kedua,” ujar Nugraha, saat ditemui di RT 9 Kelurahan Jawa, Kecamatan Sangasanga.

Ketakutan itu bukan tanpa alasan. Pada tahun 2018, longsor besar di daerah ini juga pernah menenggelamkan sejumlah rumah warga. Kini, dengan jarak tambang yang makin dekat, mereka khawatir peristiwa serupa akan terjadi lagi.

Seharusnya kata Nugraha, tambang tidak boleh beroperasi dalam radius kurang dari satu kilometer dari permukiman. Namun, fakta menunjukkan jarak tambang dengan rumah warga sangat beragam, mulai dari 50 meter, 30 meter, bahkan ada yang hanya 20 meter saja.

“Ini tambang resmi, tapi rasa ilegal. Harusnya jika mau dilihat dari peraturan daerah (perda), minimal satu kilometer dari permukiman. Nah, ini kurang 100 meter dari rumah warga. Ini kan sangat berbahaya,” tambahnya

Regulasi Jarak 1 Kilometer dari Permukiman

Adapun aturan yang dimaksud Nugraha, yaitu Perda Nomor 1 Tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kaltim Tahun 2016-2036. Terutama pada pasal 51 ayat (8) huruf d. Yang mana, pemanfaatan tambang pada lokasi permukiman tidak diijinkan.

Kecuali, mendapatkan persetujuan dan memberikan nilai tambah bagi masyarakat setempat melalui konsultasi publik dengan ketentuan jarak minimal 1 kilometer dari permukiman terdekat.

Badan jalan provinsi Kaltim longsor karena terdampak aktivitas tambang batubara PT ABN di Kelurahan Jawa, Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Jumat (30/11/2018). (Foto Istimewa)

Selain itu, ada juga di Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Kaltim Nomor 35 Tahun 2017 tentang Izin Pemanfaatan Pertambangan. Khususnya, di pasal 16 huruf g. Dijelaskan, pemanfaatan pertambangan pada lokasi permukiman tidak diijinkan.

Kecuali, mendapatkan persetujuan dan memberikan nilai tambah bagi masyarakat setempat melalui konsultasi publik dengan ketentuan jarak minimal 1 kilometer dari permukiman terdekat.

Sedangkan di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batu Bara, jarak minimal antara tepi lubang galian dan permukiman warga adalah 500 meter.

Tali Asih Membungkam Warga?

Salah satu permasalahan yang muncul antarwarga adalah soal tali asih. Sejumlah warga menerima tali asih berupa uang Rp150 ribu per bulan dari adanya aktivitas tambang yang begitu dekat dengan rumah mereka, yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali.

Namun, Nugraha menyoroti bahwa tali asih ini justru telah menjadi alat untuk membungkam protes warga.

“Warga juga sebenarnya takut. Mereka enggak mungkin nyetop tambang karena mereka juga menerima uang tali asih. Tapi seharusnya tali asih bukan untuk membungkam ketika perusahaan salah,” tegasnya.

Ia juga menyoroti, konsultasi publik harusnya dilakukan, sebelum dan saat proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), namun tidak terjadi di daerah tersebut.

“Mereka tentu tidak berani izin ke warga karena ini melanggar prosedur. Seharusnya ada konsultasi publik sebelum mengeluarkan AMDAL, tapi itu tidak terjadi,” katanya.

Menanti Tindakan Pemerintah

Saat ini, masyarakat RT 9 Kelurahan Jawa, Kecamatan Sangasanga masih menghadapi ketidakpastian. Beberapa memilih diam sebab takut dikriminalisasi akibat menerima tali asih, sementara yang lain tetap berupaya mencari kejelasan hukum terkait operasi tambang ini.

“Yang lebih khawatir lagi, di belakang (rumah warga) ini tambang besar sekali kalau dilihat dengan drone. Dan itu sangat memungkinkan untuk menarik permukiman ini ke dalam sana. Ketika terjadi longsor, akan gampang sekali,” tuturnya.

Kolam bekas aktivitas PT ABN menambang batubara ada dimana-mana di Kelurahan Jawa, Kecamatan Sanga Sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara. (Foto Istimewa)

Dengan luas area tambang yang cukup besar dan dikelola langsung oleh perusahaan besar seperti PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN) dari Toba Grup, ia berharap ada upaya intervensi dari pemerintah untuk meninjau ulang izin dan dampak lingkungan tambang ini.

Keluhan Warga RT 9

Ditemui lima wartawan di pondok kecilnya, Selasa siang (11/2/2025), Untung (67), nama samaran salah satu warga, mengungkapkan bahwa aktivitas tambang sudah berlangsung satu bulan tanpa pemberitahuan sebelumnya.

“Enggak ada permisi dan sosialisasi. Minimal kalau memang mau kerja, lihat kami di sini. Ini enggak ada sama sekali,” imbuhnya.

Keluhan serupa juga disampaikan oleh Munah (64), nama samaran, yang merasa khawatir jika terjadi longsor atau banjir akibat aktivitas tambang.

“Aku takut sebetulnya, aku sering sendirian. Kalau hujan deras, seandainya longsor atau banjir, aku mau ngadu ke siapa?,” ungkapnya.

Sementara itu, Moel (64) bersama istrinya, Latri (60), mengeluhkan kebisingan yang sangat mengganggu hingga menghambat waktu istirahat mereka.

“Bisingnya luar biasa, terutama malam hari mulai habis magrib sampai subuh. Kita nggak bisa tidur nyenyak, takut longsor kena rumah. Itu saja dibelakang rumah sudah kena lumpur. Sebenarnya diusia tua ini, kita hanya ingin hidup dengan tenang,” serunya.

Selain itu, Feri (43), seorang warga lainnya, mempertanyakan izin operasi tambang yang berada terlalu dekat dengan pemukiman. Menurutnya, berdasarkan regulasi, seharusnya ada sosialisasi dan kajian lingkungan sebelum aktivitas pertambangan dimulai.

“Aturan dulu saja menyebutkan minimal jarak tambang dengan pemukiman itu 800 meter, tapi dulu hanya 300 meter. Sekarang ini aturan jarak itu sudah 1 kilometer, eh malah lebih dekat lagi jaraknya sama permukiman, sekitar 100 meter,” bebernya.

Hingga saat ini, masyarakat mengaku belum mendapat tanggapan dari pihak perusahaan maupun pemerintah setempat. Mereka benar-benar berharap ada perhatian dari perusahaan terhadap dampak yang akan ditimbulkan, baik berupa kompensasi maupun kebijakan yang membatasi jam operasional tambang agar warga dapat hidup dengan lebih nyaman.

Klarifikasi PT ABN

Menanggapi keluhan warga RT 9, Manager Eksternal PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN), Bambang Takarianto, saat dihubungi wartawan melalui telpon seluler, Rabu siang (12/2/2025), menjelaskan bahwa aktivitas tambang telah melalui kajian studi kelayakan (Feasibility Study/FS) yang melibatkan masyarakat.

“Ketika FS ini disusun, itu juga berkonsultasi dengan masyarakat. Kontraktor yang bekerja di area kami juga sudah ditegaskan dalam perjanjian untuk mengakomodir kepentingan warga,” jawab Bambang.

PT ABN merasa aman saja menambang batubara meski begitu dekat dengan rumah warga, karena sudah didahului kajian dan telah memberi kompensasi kepada warga. (Foto Istimewa)

Ia juga mengakui bahwa dampak seperti kebisingan dan debu tidak bisa dihindari, tetapi pihaknya sudah berupaya memberikan kompensasi kepada warga.

“Setahu saya, kompensasi sudah diberikan kepada warga sekitar,” jelasnya.

Namun, terkait jumlah dan mekanisme dari kompensasi yang diberikan oleh perusahaan, Bambang menyebut masih akan memastikan kembali dengan tim operasional.

“Nanti saya akan mengecek dan koordinasi dengan tim operasional kami ya. Karena jujur, saya bukan tim teknis. Yang mengerjakan di area kami itu juga bukan kami langsung, tetapi mitra kerja kami. Yaitu, kontraktor,” lanjutnya.

Mengenai kekhawatiran warga terhadap potensi longsor, Bambang menegaskan bahwa perusahaan telah melakukan kajian teknis sebelum operasi tambang dimulai.

“Setahu saya, ada kajian geoteknik tambang untuk mengantisipasi potensi bahaya. Hal-hal seperti itu mestinya sudah secara operasional dari tim operasional kami,” terangnya.

“Harusnya dari sisi teknis sudah dilakukan. Tetapi semoga aman-aman saja, dan yang saya tahu di situ juga tidak lama aktivitasnya nanti, karena hanya sedikit potensi yang ada. Tapi saya akan ngecek dan koordinasi dengan tim operasional kami ya,” tutupnya.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan

Tag: