Aku Pulang

Cerpen Karya: Efrinaldi

Ilustrasi

Mobil Toyota Kijang itu kubeli dengan menghabiskan tabunganku. Mobil bekas itu sangat membanggakan. Walaupun telah berusia sepuluh tahun, catnya mulus, AC-nya dingin dan radio-tape-nya juga jernih suaranya. Mobil itu selalu kurawat, bersih mengkilap, bannya disemir dan ada pewangi beraroma citrus. Dengan mobil ini aku bersama keluarga pulang mengunjungi kampung halaman.

Kami berangkat setelah salat isya. Melaju kami di temaram lampu kota Bandung yang indah. Hati sangat riang memulai perjalanan ini. Suatu perjalanan bersejarah. Inilah pertama kali aku pulang ke kampung halaman dengan mobil milik sendiri dan membawa istri serta kedua anakku yang berusia empat tahun dan satu tahun. Terbayang di depan mata, betapa senangnya hati kedua orang tuaku. Kepulangan ini sekaligus sebagai ajang bernostalgia.

Perjalanan lancar sampai menuju Merak. Beruntung juga kami berhasil masuk kapal penyeberangan di antrian terakhir pemuatan kapal. Terlambat sedikit saja kami tidak terangkut kapal itu, harus menunggu kapal berikutnya.

Mobil masuk lambung kapal. Setelah menunggu beberapa saat, kapal mulai berlayar. Kami ke luar mobil dan menuju dek penumpang. Kami gunakan waktu untuk beristirahat. Ketika kapal sudah mendekati pelabuhan tujuan, kami kembali ke mobil. Mobil kemudian ke luar kapal. Kami disambut pagi pulau Sumatera.

Mobil melaju arah Utara pulau Sumatera. Kami berhenti lagi untuk makan dan istirahat. Aku bergantian menyetir dengan temanku.

*

Mobil kami berhenti di halaman rumah ibuku. Ayah dan ibu telah menunggu di halaman. Ibu duduk di atas kursi roda dan ayah berdiri di belakangnya. Sebelum kami sampai, aku memang telah menelepon ayah bahwa kami hampir sampai.

Aku membuka pintu mobil, turun dan berlari mengejar ibu. Ibu memelukku erat sekali. Air mata bahagia mengalir di pipi. Ayah memegang pundakku. Sejenak kemudian aku memeluk ayah. Ayah membalas pelukanku dengan erat. Aku melepaskan pelukan ayah. Ayah kemudian merangkul anak-anakku. Istriku dan ibu berpelukan.

Aku mengeluarkan koper dan barang bawaan dari mobil dan meletakkan di kamar. Istri dan anak-anak masuk rumah bersama ibu, ayah, kakak, dan adikku. Kami berkumpul di ruang tengah rumah. Ayah dan kakak duduk di sofa sementara yang lainnya duduk di karpet.

“Bella, sini, Nak!” panggil ibu pada putriku.

Bella mendekat. Ibu menarik badan Bella untuk duduk di pangkuannya. Ibu memeluk Bella dan menciumnya. Bella memang bertemu ibu tiga tahun lalu sewaktu kami pulang menghadiri pesta pernikahan adik. Waktu itu usia Bella baru satu tahun.

Faiz berlari ke sana kemari dalam rumah. Tiba-tiba Faiz ke luar rumah. Ayah mengejarnya. Faiz berlari ke halaman. Faiz berlari sangat kencang membuat ayah tergopoh-gopoh mengejarnya. Faiz ditangkap ayah, menggendongnya masuk kembali ke dalam rumah.

*

Suatu sore aku menemani ayah berkebun. Ayah menebas tanaman pengganggu dengan sabit. Aku mengumpulkan ranting kering dan hasil tebasan ayah ke unggun yang dinyalakan ayah. Ayah kemudian beristirahat. Dia duduk di atas batu dekat unggun. Aku mendekati beliau.

“Hidup itu hendaklah dijalani sesuai masanya,” kata ayah dengan nada datar tanpa emosi.

Aku tidak segera menanggapi. Aku sengaja membiarkan ayah banyak bicara. Aku ingin ayah memberi masukan dan nasehat sebelum aku kembali ke Bandung dua hari lagi.

“Kamu sudah melewati masa kecil, masa remaja, dan dewasa muda,” lanjut ayah.

Pembicaraan ayah sungguh menarik hatiku. Aku menunggu apa yang akan dikatakan ayah lagi. Ayah menyalakan rokok, mengisap perlahan-lahan dan mengembuskan asapnya dengan perlahan juga.

“Masa berikutnya adalah masa kamu membesarkan anak,” ujar ayah.

“Iya, Ayah!” jawabku singkat.

“Cukupkanlah makanan untuk raganya juga makanan jiwanya.”

Kata-kata ayah terasa bernas. Menghujam ke dalam sanubariku. Itulah tugasku di depan mata.

Ayah kemudian berdiri. Mengambil sabit dan kembali menyabit semak. Aku terpaku. Betapa kokohnya jiwa ayah. Fisiknya pun masih bugar. Itu karena ayah tetap aktif bergerak dengan berkebun. Ayah makan tidak berlebihan, tetapi cukup jumlah dan jenisnya.

Sinar merah tembaga senja telah datang. Burung layang-layang beterbangan di langit. Magrib segera menjelang. Kami pun kembali pulang.

Seminggu sudah kami di kampung halaman. Saatnya kami kembali ke perantauan. Perpisahan dengan ayah, ibu, kakak, dan adik-adik diisi dengan berurai air mata. Semangat baru kembali terkumpulkan.

Pesan ayah bahwa masanya aku menghadapi masa membesarkan anak-anak menjadikan aku memiliki tantangan yang menggairahkan untuk bekerja dan menatap masa depan.

Tag: