Cerpen Karya: Efrinaldi
“Dendam positif itu baik-baik saja,” kata seniorku, Burhan.
“Apa maksudnya, Bang?” tanyaku.
“Contohnya, dulu seseorang miskin, diejek-ejek orang. Kemudian dia bertekad memperbaiki nasibnya dengan bekerja keras. Dendam disakiti itu ingin dia buktikan dengan membalikkan fakta,” jelasnya
Aku manggut-manggut tanda setuju.
“Tetapi dendam itu cukup disimpan dalam hati, untuk motivasi diri sendiri. Jangan kemudian disalurkan dengan merendahkan orang lain. Itu bisa berbalik menjadi kesombongan yang dibenci Allah,” lanjutnya.
“Aku kagum dengan pendapat Abang,” cetusku.
“Jangan mudah kagum. Jangan juga mudah rendah diri. Manusia itu sama saja. Tempatnya salah dan banyak kelemahan. Hanya Allah yang pantas dipuji,” Dia berujar sambil memegang jenggotnya yang mulai memutih.
Aku memanggil pelayan kedai kopi. Aku pesan dua kopi hitam untuk kami berdua. Musik dangdut riuh di dalam ruangan ruangan. Dari sudut sebelah terlihat anak muda duduk berempat minum kopi. Terlihat mereka sebaya. Mereka berbicara keras dan sesekali terdengar tawa mereka cekakakan.
*
Aku memakan goreng pisang di hadapanku. Pisang goreng hangat itu terasa nikmat di udara yang agak dingin sore itu.
“Apa kegiatan Abang sekarang?” tanyaku
“Aku masih belum bisa melepaskan bisnisku pada anakku. Aku masih mengurusnya,” jelasnya.
“Bukankah Si Sulung telah cukup matang untuk mengambil alih bisnis Abang?” tanyaku.
Bang Burhan beringsut ke belakang dari tempat duduknya. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
“Ya, begitulah. Dia masih perlu aku poles. Dia masih belum bisa mengendalikan keuangan. Dia belum bisa membedakan uang pribadi dengan uang perusahaan,” katanya.
“Itu kan bisa dijelaskan, Bang,” tukasku.
“Iya, namun sampai sekarang aku belum yakin,” katanya dengan suara rendah.
“Jadi apa pekerjaan Si Sulung sekarang?” tanyaku.
“Dia sudah mulai memegang kendali bisnis sebenarnya. Dia kini mengurus general affair,” jelasnya.
“Oh, hampir jadi, dong!” kataku.
“Iya, mungkin dua tahun lagi dia akan memegang kendali perusahaan. Aku akan menjadi komisaris saja,” jawabnya.
*
Anak-anak muda tadi telah bubar. Aku melihat mejanya bertaburan abu rokok, walau ada dua asbak di meja mereka. Aku ceritakan hal itu pada teman ngopiku.
“Begitulah sebagian anak muda kini. Sembarangan dalam banyak hal,” katanya.
Aku membatin, Apakah dia juga kecewa dengan putra sulungnya?
Aku menahan diri untuk bertanya. Dia bercerita bahwa, kesulitan anak muda sekarang adalah tidak memahami arti perjuangan. Mereka miskin pengalaman berjuang dari bawah. Aku pun mengatakan bahwa itu adalah anugerah yang harus disyukuri.
Generasi di bawah kita mendapat kesempatan melangkah lebih cepat ke tangga lebih atas dalam kehidupan ini. Dulu kita berkutat dengan kebutuhan dari bulan ke bulan, kini mereka sudah bisa leluasa memandang ke jangka lebih panjang.
“Tetapi mereka juga punya banyak ancaman dan tantangan,” kata Bang Burhan.
Apa contohnya,” tanyaku.
“Persaingan bisnis yang semakin ketat, terlebih dengan membanjirnya produk dan jasa dari luar negeri,” jelasnya.
“Tetapi itu kan juga peluang. Kita juga bisa menjual produk dan jasa ke luar negeri,” kataku.
“Benar sekali!” kata Bang Burhan.
“Masanya anak-anak muda sekarang adalah meningkatkan kekuatan dan mengatasi kelemahannya, mengantisipasi ancaman dan meraih peluang,” kataku berteori.
“Ha ha ha … aku ingat pelajaran manajemen strategik tahun 90-an,” kata Bang Burhan.
Aku tersipu malu.
*
Tiba-tiba datang tiga anak muda. Pakaiannya terlihat sopan, walau memakai jeans dan baju katun casual. Mereka duduk di pojok tempat anak muda tadi duduk. Mereka terlihat berbicara pelan. Mereka tidak merokok. Terlihat mereka anak-anak terpelajar.
“Aku tahu apa yang kau pikirkan,” kata Bang Burhan membuatku kaget.
“Coba tebak!” kataku.
Dengan antusias Bang Burhan berkata,
“Ternyata tidak semua anak muda sama!”
Aku tertawa mendengarnya. Sepertinya Bang Burhan bisa membaca pikiran orang lain.
Terdengar lagu dinyanyikan Basofi Sudirman dari speaker kedai kopi,
“Tidak semua laki-laki ….”
Kami pun menyudahi acara ngopi bareng. Kami ke luar kedai kopi setelah membayar yang kami minum dan makan. Bang Burhan kemudian menaiki mobilnya yang terparkir di depan kedai kopi. Aku pun menuju mobilku yang terparkir agak jauh.
Langit sore berwarna jingga. Aku pun bersyukur mendapatkan teman ngobrol yang asyik sore itu.@
Tag: Cerpen