Cerpen Karya: Efrinaldi
Setelah mandi pagi aku memakai celana blue jeans dan T-Shirt berwarna abu-abu. Aku mengenakan blue jeans bekas menantuku yang agak kelonggaran tetapi tidak terlalu menyesak sebagaimana blue jeansku yang ada.
Sejak setahun ini berat badanku bertambah. Blue jeansku masih bisa dipakai tetapi pinggangnya terlalu sempit. Makanya aku nyaman memakai blue jeans pemberian menantuku yang ukurannya nomor 39. Sementara blue jeans bernomor 35.
Pasnya blue jeansku kini 37. Aku belum beli lagi blue jeans baru yang sesuai dengan bobotku kini. Maklum orang pensiunan harus selektif mengeluarkan uang.
Aku ke halaman. Kulihat kebun di depan rumahku semakin menyemak. Kebun itu biasanya dipelihara kakak-kakak istriku kalau mereka pulang kampung. Namun pagi menjelang siang itu, aku terpancing membersihkan kebun itu.
Aku masuk rumah. Kuambil pacul dan parang di sudut dapur tempat alat-alat pertanian kami ditempatkan.
“Mau apa Uda?” tanya istriku.
“Mau membersihkan kebun depan,” jawabku.
“Tak usahlah Uda. BIar nanti Uda En atau Datuak Muncak yang membersihkan,” ujar istriku.
“Tak apa-apalah. Aku mau ada sedikit kegiatan fisik agar berat badanku menurun. Kini sudah di atas batas atas bobot ideal,” kataku beralasan.
Istriku tak dapat menahan keinginanku.
“Tapi, hati-hati ya?” kata istriku.
“Iya!” kataku dengan sedikit jengkel.
Mulailah aku membersihkan dari sisi terdekat dari rumah.
Kebun itu berlokasi setelah halaman rumah, memanjang ke depan bersebelahan dengan jalan masuk rumahku. Kebun itu memanjang sampai tepi jalan raya.
Aku mencungkil sebatang singkong. dengan cangkul. Dapat sejumlah sekitar lima kilo singkong. Aku masuk rumah.
“Mul, ini singkong Uda cungkil. Buatlah keripik singkong pedas!” kataku.
“Baik, Uda,” jawab istriku.
Aku meletakkan singkong di dapur.
Aku kembali ke kebun. Aku menyiang rumput dari sela -sela kan tanaman katuk yang tumbuh di sana. Sampai sekitar tiga meter telah tersiangi.
Tibalah di rumpun pisang. Ada pohon pisang yang tumbang. Buahnya telah kuambil beberapa hari lalu walau belum begitu tua.
Pisang itu rupanya matang juga. Hari ini telah matang semua pisang itu. Namanya pisang Jantan.
Pisang itu kubawa satu sisir buat oleh-oleh temanku yang memintanya sewaktu kami mengadakan reuni komunitas orang sekampung halamanku di Lembah Harau Sabtu-Minggu kemaren.
Ya, cuma satu sisir. Pisang itu memang sangat berharga bagi kami, sebab bagus dibuat pisang goreng. Jadi pisang itu untuk konsumsi kami sendiri.
Kalau pisang lain seperti pisang Godang, kami jual saya karena kami kurang suka pisang itu.
Kalau pisang Bantan, sebagian kami makan, sebagian dijual istriku dengan meletakkan di pinggir jalan raya di ujung jalan masuk rumah kami.
Aku memotong pisang tumbang itu mulai dari daunnya, terus ke batangnya. Telah dua potongan terkerjakan.
Sampaikan potongan ketiga. Tangan kiriku memegang batang pisang sementara tangan kanan memegang parang. Tiba-tiga aku menjerit kesakitan. Ada lipan menyengat jempol kiriku.
Aku mengibaskan tangan kiriku. Lipan (kalabang) terpelanting dan menghilang di rumpun pisang. Aku meludahi gigitan lipan. Itu cara yang kutahu dari kebiasaan nenekku dulu.
Aku masuk ke rumah dan memberi tahu istriku.
“Uda disengat lipan,” kataku.
“Uda kurang hati-hati. Juga tak memakai sarung tangan. Kan ada itu sarung tangan dibelikan Datuak Muncak,” kata istriku seperti menyesaliku.
“Uda telah meludahinya,” ujarku.
Istriku terlihat prihatin. Tanganku gemetar, namun aku merasakan nyerinya tak seberapa.
Istriku menanyakan ke teman-temannya cara mengobati sengatan lipan. Banyak cara yang disarankan per WA.
Aku memilih cara yang masuk akal yaitu memakai perasan jeruk nipis dengan soda kue.
“Siapkan campuran soda kue dan perasan jeruk lemon dalam piring kecil!” kataku pada istriku.
“Iya, Uda,” kata istriku.
Aku pun mengoleskan ramuan itu di bekas sengatan lipan.
Tak lama kemudian terdengar suara adzan dzuhur berkumandang. Aku pun bersuci dengan bertayamun saja dengan pasir sungai yang ada di halaman rumah.
Setelah salat aku kembali mengoleskan ramuan tadi. Terlihat bengkak tanganku sekitar sengatan lipan. Nyeri sekali terasa tangan kiriku setelah aku selesai salat.
Rupanya peremehanku dengan meludahi telah sirna efeknya. Terasa nyut-nyutan sakitnya.
Aku mencari analgetik di kotak obat. Ada parasetamol. Aku meminumnya sebutir. Sejam kemudian, rasa nyeri sudah mulai mereda.
Menjelang waktu ashar, aku timbang-timbang apakah aku akan bersuci dengan bertayamun atau berwuduk.
Aku mendapat inspirasi menutupi pusat sengatan dengan plester obat. Aku meminta anakku membelikan plester obat di warung. Ada tiga buah plester dibelikan.
Aku menutupi pusat sengatan dengan plester. Aku tempelkan dua plester bersilang, terlihat seperti pola palang merah. Aku pun berwudhu.
Sebentar setelah itu suara azan berkumandang di masjid. Aku pun diam mendengarkan suara adzan dan menjawab setiap seruan dalam hati. Aku pun salat ashar di rumah. Setelah salat, aku berdoa dalam hati.
“Uda! Bagaimana rasanya sekarang?” tanya istriku.
“Lumayan agak membaik,” kataku.
“Syukurlah kalau memang demikian,” jawab istriku.
Aku pun hanya di rumah sampai magrib datang.@
Tag: Cerpen