Cerpen Karya : Efrinaldi

Sewaktu aku pulang kampung setelah pensiun tahun 2020, aku mengenal Adek, seorang disable yang cerdas. Kakinya lumpuh sehingga harus memakai kursi roda. Aku mendapat kabar dari istriku kalau dia sekolah sampai tamat SMA dekat tempat tinggal kami, di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Setamat SMA, dia mengikuti sekolah tambahan selama satu tahun di Palembang, setahun di Medan dan setahun di Bogor atas biaya Kementerian Sosial RI.
Setamat berbagai pelatihan itu, dia bekerja sebagai marketing asuransi. Banyak nasabah dapat diraihnya. Hanya setahun dia bekerja di perusahaan asuransi di Jakarta dan kemudian pindah ke kampung halaman. Dia sempat menikah, namun kemudian berpisah dan tidak menikah lagi sampai sekarang.
Dia hidup di rumah sendiri yang dibangunkan pemerintah. Dia bisa memasak dan membeli bahan masakan sendiri walau memakai kursi roda. Dia mendapat pemasukan dari berbagai kegiatan kemasyarakatan sebagai panitia seperti saksi pemilu, juri lomba dan lain-lain.
Dia juga menjalin kekerabatan dengan keluarga ayahnya, sehingga sebagian tanah keluarga ayahnya, dia yang memanfaatkan. Tanah itu diupahkan mengolahnya dan ditanam singkong memakai tenaga upahan.
Setelah masanya dipanen, dia mencarikan tukang panen. Sementara, dia menghubungi calon pembeli. Setelah pembeli dapat, hasil panen diantarkan orang suruhannya ke pembeli atau pembeli sendiri yang menjemput ke kebun. Adek hampir selalu mendapat laba dari selisih penjualan dikurangi aneka biaya.
Belum beberapa lama ini, usahanya berkembang pada pengusaha snack dari singkong. Dia mengorder snack ruah ke dapur pembuat snack. Kemudian dikemasnya dengan brand miliknya sendiri.
Pekerjaan pengemasan dikerjakan orang lain yang menerima upah sesuai volme pekerjaan. Dia hanya melakukan pemastian mutu. Setelah dikemas, dia meminta salesman menjual ke toko-toko di wilayah Simalanggang, daerah pemasaran yang dia kuasai.
Dia membayar salesman sesuai jumlah produk terjual setiap hari. Selisih penjualan dikurangi semua biaya menjadi labanya. Modalnya dari dia sendiri, namun bila volume produksi meningkat, dia biasanya meminta pemilik modal menanam modal dengan hitung-hitungan tertentu yang berdasarkan cara syariah.
Ini menginspirasi aku. Walau ada keterbatasan fisik, namun pikirannya yang cemerlang menjadikan Adek bisa eksis sebagai orang yang produktif dan menjadi orang mandiri secara ekonomi.
Ini membuatku yakin bahwa satu saat Faiz dengan keterbatasannya sebagai anak autis akan mendapat jalannya juga bisa mandiri secara ekonomi, tidak selamanya bergantung pada kami, orang tuanya dan nanti kakaknya setelah kami meninggal dunia.
Aku mulai berpikir Faiz bisa menjaga rumah, memasak untuk keluarga. Bisa membantu berkebun di kebun kami. Ada ide cemerlang dari sahabatku Widarti agar Faiz menjadi fotografer profesional, mendapat uang dari memotret event seperti acara pesta, foto keluarga, dan membuat karya fotografi yang bernilai jual yang tinggi seperti foto bunga, hewan, pemandangan alam dan potret peristiwa sosial sekitar kami.
“Siapa tahu suatu waktu menjadi pemenang lomba fotografi yang berhadiah besar,” demikian saran sahabatku suatu waktu.
Benar sekali, kita harus selalu membuka diri akan masukan dan melihat masa depan dengan optimis. Aku kembali melihat persoalan Faiz dengan pandangan optimis, setelah beberapa bulan terakhir aku dirundung pesimisme bila mengingat kondisi Faiz seperti jalan di tempat beberapa tahun belakangan sejak dia selesai sekolah formal.
Bagiku ini adalah tantangan besar agar bisa mengantarkan Faiz memiliki kehidupan yang lebih baik, sejak autismenya tetap tersandang di pundaknya.
Doakan ya, Pembaca!@
Tag: Cerpen