Harga Cabai Rawit di Nunukan Tembus Rp120.000/Kilogram

Pasokan cabai dari Sulsel ke pasar tradisional Inhutani Nunukan berkurang. (Foto Budi Anshori/Niaga.Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Harga cabai rawit lokal di pasar tradisional Inhutani Nunukan tembus Rp 120,000 per kilogram, lonjakan harga diikuti pula cabai asal Sulawesi Selatan (Sulsel), yang kini dijual Rp 100.000 dari harga sebelumnya Rp 60.000 – Rp 80.000 per kilogram.

“Sudah satu bulan ini kenaikan harga cabai rawit lokal dan luar daerah di pasar Nunukan,” kata Erwin Wahab, pemasok sayuran di Pasar Inhutani Nunukan pada Niaga.Asia, Jum’at (24/06/2022).

Kenaikan harga dipicu minimnya pasokan cabai dari Sulsel dan belum mampunya petani – petani  lokal memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat di Nunukan.

Tingginya permintaan cabai di Samarinda dan Balikpapan, Kalimantan Timur, ikut mempengaruhi ketersedian sayuran asal Sulsel yang selama ini dikirim ke Nunukan menggunakan kapal-kapal angkutan penumpang.

“Panen cabai di pulau Jawa gagal, jadi agen pemasok di Kaltim mengambil cabai di Sulsel, inilah yang mengurangi pasokan cabai ke Nunukan,” tuturnya.

Seperti biasanya, kenaikan cabai di pasar tradisional Nunukan selalu diikuti kenaikan tomat dari harga sebelumnya Rp 8.000 per kilogram menjadi Rp 20.000 per kilogram.

Erwin menjelaskan, kenaikan harga tidak berhubungan dengan jelang lebaran Idul Adha, harga naik murni dikarenakan distribusi dari Sulsel yang menurun hingga terjadi kekosongan stok cabai di semua pasar.

“Kalau cabai Sulsel naik di pasar, cabai lokal pasti ikut naik menyesuaikan, kualitas cabai lokal lebih baik wajarlah harga lebih tinggi,” ucapnya.

Ditengah lonjakan harga cukup tinggi, Erwin berharap kenaikan cabai dinikmati petani mendapatkan penghasilan besar, tidak sebaliknya kenaikan harga jual menguntungkan bagi pedagang dan pemasok sayuran.

Peran pemerintah dalam tugas kontrol pasar hendaknya melihat siapa – siapa yang menikmati kenaikan harga, jangan sampai kenaikan harga tidak membawa pengaruh bagi petani, malah membuat pedagang lebih kaya.

“Pertanyaan kita, apakah benar petani menikmati kenaikan ini, atau sebaliknya malah pedagang semakin senang. Sinilah peran pemerintah mengontrol harga pasar,” bebernya.

Untuk mengatasi harga cabai yang tidak stabil, Erwin meminta masyarakat Nunukan menciptakan nilai tambah cabai dengan cara memproduksi cabai menjadi sambal yang bisa dikonsumsi dalam kurun waktu lama.

Sebagai contoh, masyarakat di Samarinda dan Banjarmasin produksi sambal cabe dalam kemasan botol yang mampu bertahan hingga satu pekan, keterampilan ini menghasilkan ekonomi sekaligus mengatasi kenaikan cabai secara langsung.

“Nunukan belum ada nilai tambah dari cabai, hari ini beli besok habis, begitu terus – menerus, makanya kalau naik pasti ribut masyarakat,” terangnya.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Rachmat Rolau

Tag: