Harga Kedelai Naik, Bisnis Tempe dan Tahu di Nunukan Normal

Usaha pengolahan tempe dan tahu UD Jaya Abadi di Kecamatan Nunukan (Foto: Budi Anshori/niaga.asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Kenaikan harga kedelai secara nasional tidak berdampak signifikan bagi daerah. Di kabupaten Nunukan Kalimantan Utara misalnya, bisnis pengolahan kedelai tetap berjalan normal.

“Usaha tetap jalan. Produksi tempe dan tahu normal setiap hari. Begitu juga karyawan tetap tanpa pengurangan,” kata Fathur Rahman kepada niaga.asia, Selasa.

Sebagai bos pabrik pengolahan tempe dan tahu di Jalan Lumba-Lumba, Kecamatan Nunukan, Fathur mengaku setiap bulannya mendatangkan kedelai dari Surabaya, Jawa Timur, menggunakan jasa kontainer yang beratnya sekitar 23 ton.

Pemesanan kedelai pada produsen di pulau Jawa dilakukannya setiap bulan. Namun demikian sejak satu bulan terakhir ada kenaikan harga yang cukup signifikan dari awalnya Rp 9 juta per 23 ton menjadi Rp 11 juta per 23 ton.

“Kenaikan harganya perlahan-lahan dan terjadi hampir setiap hari dari Rp 50 sampai Rp 100 per kilogram,” ujar Fathur.

Menurutnya, kenaikan bahan pokok secara langsung juga berpengaruh terhadap harga jual produk olahan. Pelaku usaha yang tetap mempertahankan harga tanpa kenaikan, terpaksa mengurangi diameter atau ukuran tempe dan tahu yang diproduksi.

Memperkecil ukuran tempe dan tahu adalah pilihan yang harus dilakiloni demi mempertahankan keseimbangan biaya produksi dengan hasil produksi. Meski disadari pasti ada dampak dari penyesuaian produksi.

“Menaikan harga jual berat ya, apalagi pandemi begini ekonomi susah. Pilihan tepatnya mengurangi ukuran dengan tetap mempertahankan harga,” terang Fathur.

Untuk menjalankan usaha di tengah tingginya harga kedelai, Fathur tetap mempekerjakan 10 karyawan pria dan wanita dengan upah kerja antara Rp 2,5 juta – Rp 3 juta per orang/bulan.

Mengurangi ukuran tempe dan tahu adalah cara mempertahankan bisnis tanpa menaikan harga jual di tengah kenaikan harga kedelai (Foto : Budi Anshori/niaga.asia)

Pabrik pengolahan tempe dan tahu UD Jaya Abadi miliknya setiap hari menghabiskan 10 karung atau sekitar 500 kilogram kedelai. Selain Fathur, masih ada beberapa lokasi usaha lainnya di Nunukan.

“Penjualan lancar saja sih, produksi juga tetap normal 10 karung/hari. Termasuk pengolahan tempe gembus,” terangnya.

Fathur memulai usahanya dari ikut bekerja orang lain dari tahun 1992 sampai 2000. Setelah memiliki keahlian dan merasa mampu, pria asal Jombang, Jawa Timur ini memberanikan diri menjalankan usaha sendiri.

Bersama istri dan karyawannya, usaha tempe dan tahu miliknya terus berkembang hingga sekarang. Pemesanan terus bertambah merambah pasaran di Kecamatan Sei Menggaris, dan sesekali dibawa untuk oleh-oleh atau buah tangan ke Tawau, Malaysia.

“Tahun 1992 saya datang ke Nunukan ikut kerja usaha orang. Tahun 2000 buka sendiri, kalau omzet rahasia lah,” ungkapnya.

Hal menarik dari usaha pengolahan kedelai menjadi tempe dan tahu adalah meningkatnya pembelian konsumen ketika harga ikan dan daging ayam melonjak naik. Masyarakat ekonomi menengah memburu tempe sebagai alternatif sumber protein sekaligus lauk dengan harga murah.

Kondisi pandemi juga ikut mempengaruhi usaha tempe dan tahu. Di mana ketika penghasilan masyarakat menurun, masyarakat memenuhi kebutuhan pangan mereka seperti membeli tempe dan tahu.

“Nunukan ini tidak penting harga sih. Selama ada barangnya pasti dibeli orang. Istilahnya itu, naik boleh asal barang ada,” katanya.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Rachmat Rolau

Tag: