Ibu Menjahit Pakaian

Cerpen Karya: Efrinaldi

Foto Efrinaldi.

“Epi, Ibu buatkan piyama,” ujar ibu sambil mengeluarkan kain dari kantong plastik.

“Hore …!” teriakku girang.

Ibu mengambil meteran pita di laci mesin jahit, mengalungkannya di lehernya, dan meraih badanku.

“Sini … Ibu ukur badanmu!” kata ibu.

Ibu mengukur badanku mulai ukuran baju kemudian celana. Terlihat ibu berpikir-pikir. Ibu mengambil kertas dan pensil. Ibu mulai membuat gambar.

“Ibu buat dua rancangan. Epi pilih mana yang disukai,” kata ibu sambil menyodorkan gambar rancangan.

Aku amati gambar rancangan ibu. Tidak berbeda banyak kedua rancangan. Aku pilih rancangan pertama yang ibu perlihatkan. Aku suka kerahnya tidak terlalu lebar dan sakunya ada dua, di kanan-kiri bawah baju.

“Baik, Ibu  buatkan seperti ini,” kata ibu sambil membentangkan kain di lantai.

Ibu mengambil pensil kain di laci mesin jahit. Ibu mulai mengukur kain dan membuat garis dengan pensil di atas kain. Ibu menggunting mengikuti garis, menggulungnya, memasukkan ke dalam kantong plastik.

“Ibu akan minta tukang obras menjahit pinggir kain dulu,” ujar ibu sambil mengemas peralatan, memasukkan kembali ke laci mesin jahit.

Aku pun berlari keluar, menuju halaman. Ada kakak melap sepeda. Aku mendekati dan membantu kakak melap memakai kain yang disodorkan kakak.

“Selesai! Kita main sepeda!” kata kakak sambil memutar sepeda ke arah pintu keluar.

Kakak menaiki sepeda, aku naik di boncengan. Kami melaju menuju halaman sekolah yang berada di seberang rumah kami.

Aku pulang bermain sepeda dengan kakak. Rupanya ibu telah kembali dari tukang obras. Ibu mulai menjahit bajuku. Dua hari ibu menjahit bajuku sampai akhirnya selesai di suatu sore.

“Epi, cobalah baju ini!” kata ibu menyuruhku mencoba baju yang baru selesai dijahit.

Aku mencobanya. Ternyata pas terpakai di badanku.

“Bagus sekali, Ibu,” kataku sambil memegang kerah baju dan sakunya.

“Alhamdulilah,” kata ibu sambil tersenyum

Ayah memperhatikan bajuku. Ayah mengacungkan jempolnya.

“Sini, Ayah setrika dulu,” kata ayah yang sedang menyetrika pakaian.

Aku membuka baju dan menyerahkan pada ayah untuk disetrika.

Ayah menyuruhku memakai baju yang selesai disetrika tanpa melipatnya. Aku memakainya. Terasa hangat baju yang baru selesai disetrika. Aku pergi ke depan cermin untuk berkaca. Aku puas dengan baju jahitan ibu. Piyama  itu terus kupakai sebab hari sudah mau malam.

*

Ibu memiliki mesin jahit bermerk Standard yang dibeli ibu sewaktu masih muda di tahun 1960-an. Mesin jahit ini sangat handal dan memang merk terkenal kala itu.

Beberapa kali pindah rumah, ibu selalu membawa mesin jahit itu ke rumah baru. Aku pikir itulah barang yang tidak pernah ibu tinggalkan kalau pindah rumah, kedua setelah koper besi tempat dokumen keluarga kami.

Ibu menjahit sendiri pakaiannya sejak ibu gadis. Baju kami, anak-anaknya juga dijahitkan ibu. Hanya ibu kurang pandai menjahit kemeja, sehingga baju sekolah kakak dijahitkan ke tukang jahit. Ibu juga tidak pandai menjahitkan baju ayah.

Baju ibu tidak banyak variasinya, terbatas baju kurung, kebaya dan daster. Ketika ibu mulai menjahit baju untuk adik perempuanku, ibu suka melihat model baju anak perempuan di majalah.

Ibu berlangganan majalah Kartini dan Femina untuk melihat model baju. Sering juga ibu pergi ke toko pakaian anak-anak sekedar melihat model baju, tidak membeli. Kalau ada yang menarik hati ibu, ibu membuatnya untuk adik.

Kalau hari raya idul fitri, ibu menjahit baju seragam, untuk aku, kakak, dan adik. Aku sangat suka baju berbahan strimin yang disulam motif bunga di dada dan saku di sebelah kanan-kiri  bawah. Ada foto kami, tiga lelaki bersaudara, berseragam itu. Ayah sendiri yang memotretnya.

Ketika adik bungsuku, perempuan akan lahir, ibu menjahit pakaian bayinya. Ibu menjahit pakaian adik untuk seterusnya.

Kadang-kadang ibu membeli satu baju di toko pakaian di kota Payakumbuh. Ibu menirunya dengan sedikit modifikasi sehingga adik punya dua baju tambahan.

Ketika aku tidak kanak-kanak lagi, aku tidak lagi dijahitkan baju oleh ibu. Ibu membelikan baju di toko atau menjahitkan ke tukang jahit.

Ibu mengaku bahwa ibu tidak pandai menjahit baju lelaki. Sementara baju adik perempuan masih dijahit ibu sampai adik tamat SMA.

Walau ibu cukup sering menjahitkan pakaian baru, namun sering celanaku robek karena bermain. Bagian pinggul celanaku suka bolong-bolong karena aku suka main perosotan di tangga rumah dan tebing di kaki bukit. Ibu biasanya menjahitnya dengan tangan, tidak memakai mesin jahit.

Ayah suka bantuan ibu memasang kancing bajunya yang lepas. Karena merokok sering baju dan baju ayah bolong karena terpercik bara rokok. Ibu menyulam bagian yang bolong.

Ketika aku remaja, aku membeli celana jadi di toko. Hampir selalu kakinya kepanjangan. Ibu memotong kaki celana dan menjahitnya. Celana jeans biasanya ibu jahit dengan mesin jahit, dan celana bahan biasa ibu jahit dengan tangan.

Ketika ibu telah berusia empat puluh tahun, ibu meminta kami anak-anaknya memasukkan benang ke jarum. Ibu sudah kurang awas memasukkan benang ke jarum.

Awalnya aku heran, kenapa memasukkan benang ke jarum itu sulit dilakukan ibu. Kemudian aku tahu memang setelah menua mata menjadi rabun dekat.

Ibu memang sudah sejak muda memakai kaca mata, namun memakai kacamata double focus baru ketika berusia empat puluh tahun.

Membantu ibu memasukkan benang ke jarum adalah pekerjaan yang kusukai.@

Tag: