Isilah dengan Cinta

Cerpen Karya: Efrinaldi

Foto Efrinaldi.

“Dia sedang kosong itu!” kata kakak iparku pada kakakku.

Aku memang terhenyak dalam keputusasaan karena cinta yang kandas. Tiap hari aku hanya duduk termenung di kursi tamu rumah kakakku. Sesekali keponakanku mengusikku dengan memanggilku Pak Epi.

Kakak iparku dengan senang hati menerima aku tinggal bersama mereka. Beliau memasakkan makanan bergizi untukku. Kakakku membuatkan minuman teh telur ayam tiap hari.

Dua bulan mukaku mulai berdarah lagi. Aku jadi suka duduk-duduk di teras rumah kakakku. Kuperhatikan gadis penggembala yang suka menggembalakan sapinya di kebun di depan rumah. Hatiku tersentuh. Begitulah kehidupan yang dijalani gadis yang cukup cantik. Ku pandangi jemariku. Telah lelah giat belajar sejak aku kecil sampai tamat kuliah dan bekerja selama tiga tahun, pikirku.

Aku tersentak, bahwa aku hanya lelah saja. Sebenarnya kesedihanku telah mulai hilang. Begitu fisikku kembali bugar pikiranku kembali jernih.

*

Suatu sore kakakku pulang dari mengajar, agak terlambat pulang dari biasanya. Dia menemuiku yang duduk di kursi di dalam kamar. Kakakku menyodorkan sebuah foto.

“Epi, ini ada foto titipan teman Uda,” katanya sambil memberikan selembar foto berukuran kartu pos.

Aku menerimanya. Kuperhatikan seorang wanita berpakaian muslimah. Bulu matanya rapi. Hidungnya mancung, Mukanya oval. Aura keteduhan terpancar dari mukanya.

“Siapa ini?” tanyaku.

“Dia anak teman Uda. Dia mahasiswi tahun terakhir di Unri, Pekanbaru,” jelas kakak.

Aku mengangguk-angguk. Dalam hatiku aku mulai tertarik pada wanita di foto itu.

Kakakku kemudian memberikan forto kedua. Berpakaian muslimah juga tapi rambutnya terbuka. Terlihat rambutnya tergerai hingga pinggang.

Lama aku pandangi foto itu. Kakak tersenyum simpul kemudian keluar kamar, meninggalkan aku sendiri.

Tiba-tiba keponakanku masuk.

 

“Pak Epi, lagi apa?” tanyanya.

Aku kaget karena aku masih saja memandangi foto gadis itu. Aku cepat cepat menyimpan di laci meja. Kaku menyambut keponakanku yang sepertinya mengajak bermain. Kami bermain di ruang keluarga rumah. Keponakanku menyanyi lagi Semut-semut Nakal. Aku mendengarkan dengan antusias.

*

“Bagaimana menurutmu tentang foto gadis itu?” kata kakak.

“Aku tertarik. Sepertinya dia memang ditakdirkan akan menjadi istriku!” kataku dengan mantap.

Kakakku berkata,

“Kalau begitu segera Uda atur pertemuan dengannya,”

Kakakku  menceritakan tentang latar belakang keluarga gadis itu. Dikatakan bahwa dia berasal dari keluarga anak guru dengan latar belakang kehidupan sosial tak jauh berbeda dengan kami.

Dua hari kemudian, benarlah kami bertemu. Disaksikan kakak, kakak ipar dan ibu sang gadis. Rupanya pertemuan itu positif, membuahkan hasil. Kami kemudian memang menjadi pasangan kekasih. Setahun kemudian kami menikah.

Kekosongan memang berbahaya. Kalau tidak diisi akan masuk energi negatif yang merusak diri. Kehampaan diriku dari cinta telah diisi wanita yang ditakdirkan Allah memang menjadi istriku.

*

Kini telah 29 tahun berlalu. Kami telah menikah selama 28 tahun. Ketika aku memasuki masa pensiun, aku kembali mengalami kekosongan. Aktifitasku menjadi kurang bermakna. Kembali kakak iparku melihatnya.

“Epi, jangan biarkan dirimu kosong. Perbanyaklah berzikir!” katanya.

Itu pendapat yang bernilai bagiku. Ketika aku kekosongan kegiatan dan tak punya ide menulis, pikiranku kosong. Aku merasakan kekeringan jiwa bila demikian. Sejak dapat saran demikian, aku suka berzikir, Subhanallah, Walhamdulillah, Walailaha illallah, Wallahu akbar. Lahawla walaquwwata illabillah!

Itu membantu diriku, Ruang kosong itu terisi kalimat baik yang menyejukkan kalbu.

Alhamdulillah!

Tag: