Cerpen Karya: Efrinaldi

Aku mendekati ayah yang duduk di atas sajadah. Aku tidur di pelukannya. Nyaman sekali rasanya bermanja-manja dengannya Ayah mengelus kepalaku dengan lembut hingga membuat mataku mengantuk.
“Epi, kamu anak lelaki. Jangan manja begini terus!” kata ayah.
Baru kali ini ayah berkata seperti itu padaku. Selama ini ayah memperlakukanku dengan manis. Kuulang kata-kata ayah dalam hati, Kamu anak lelaki. Jangan manja begini terus! Aku berdiri menjauh dari ayah beberapa langkah.
“Oi, anak bujang ayah!” seru ayah.
“Ya, Ayah. Apakah aku memang sudah besar?” tanyaku dengan suara ragu.
“Iyalah, Nak. Usiamu telah enam tahun. Masanya kamu tumbuh menjadi anak lelaki mulai besar, bukan bayi lagi,” tukas ayah.
“Hore … aku telah besar!” teriakku sambil mendekati ayah.
“Rambutmu telah panjang. Ayo ayah cukur biar kamu tambah ganteng!” Aku tersenyum. Aku merasa tersanjung dikatakan ganteng.
“Sinilah, Nak! Ayah akan memangkas rambutmu!” kata ayah kemudian.
Cepat aku mendekat. Ayah membuka bajuku dan mulai memangkas rambutku. Sebentar saja rambutku telah rapi. Ayah memang pandai memangkas rambut.
“Dari siapa Ayah belajar memangkas rambut?” tanyaku pada ayah.
“Ayah belajar dari kakekmu, kakek belajar dari ayahnya,” jawab ayah.
Kemudian ayah bercerita, bahwa kepandaian kakek memangkas rambut membuat kakek bisa membiayai hidup dan sekolahnya di Mekah selama tujuh tahun.
“Ayah tidak berharap anak-anak ayah menjadi tukang pangkas rambut nantinya. Melainkan semua memiliki keterampilan lebih hebat lagi. Kepandaian memangkas rambut ini tetap perlu. Kalau hidup susah di perantauan, daripada minta-minta, lebih baik bekerja. Menjadi tukang pangkas rambut bisa dilakukan. Tetapi ayah berdoa kalian semua memiliki kepandaian dan pengetahuan lebih lagi nanti. Ayah ingin kalian semua menjadi sarjana.” kata ayah.
*
Setelah memotong rambutku, ayah pergi tidur siang. Sejam kemudian ayah bangun. Ayah memanggilku.
“Epi…ayo ke kebun!”
“Baik, Ayah!” jawabku mengiyakan.
Aku dan ayah pergi ke kebun di belakang rumah. Ayah membawa cangkul, tembilang, parang, sabit, dan kantong plastik memakai gerobak. Aku mengikuti beliau. Ayah menggali lubang dengan diameter sekitar setengah meter sedalam sekitar enam puluh sentimeter, menggunakan cangkul dan tembilang. Setelah selesai lubangnya, ayah memintaku mengambil abu dari sisa api unggun di dalam kebun.
“Pi, ambil abu sekantong plastik di unggun!” ujar ayah sambil menyodorkan kantong plastik hitam.
Aku mengambil abu, sementara ayah mengambil anak pohon pisang dari suatu rumpun pohon pisang. Ayah membawa sebuah anak pohon pisang ke dekat lubang yang telah dibuat. Dipotongnya akar anak pisang yang menonjol dengan parang.
“Pi, mari kita taburkan abu ke pangkal pisang!” ujar ayah sambil memulai menaburkan abu ke pangkal anak pohon pisang. Aku mengikuti cara ayah sehingga seluruh akar anak pohon pisang telah tertaburi abu.
“Sekarang kita tanam anak pohon pisang ini, ” ujar ayah.
Ayah memasukkan pangkal anak pohon pisang ke lubang. Ayah menyuruhku memegang pohon pisang agar tidak tumbang. Kemudian, ayah mulai menimbun lubang dengan tanah menggunakan cangkul. Selesai sudah acara menanam pisang. Kemudian ayah menyalakan api unggun di tengah kebun. Setelah api menyala, ayah menebas semak di kebun memakai sabit. Ayah menyuruhku mengumpulkan tanaman hasil tebasan ke api unggun.
Ayah duduk di atas tunggul kayu tidak jauh dari api unggun. Beliau menyalakan rokoknya. Terlihat ayah sangat menikmati rokoknya. Aku kemudian sibuk menangkap belalang. Belalang yang tertangkap aku ambil kakinya dan aku panggang di atas bara api. Setelah terpanggang aku makan kaki belalang itu. Ayahku seperti tidak memperhatikanku. Tetapi aku yakin ayah pasti memperhatikan aku bermain api, waspada kalau api unggun membahayakanku.@
Tag: Cerpen