Cerpen Karya : Efrinaldi

“Epi, pulanglah segera. Ayah sakit keras.” kata kakak di seberang sana melalui telepon.
“Sakit apa, Uda? Bagaimana kondisi ayah sekarang? tanyaku dengan tidak sabar.
“Pokoknya, kamu pulang segera. Kalau dapat tiket hari ini pulanglah hari ini juga” balas kakak.
Aku menemui adik yang sedang kuliah S-3 di Unpad.
“Baiklah kita pulang berdua saja.” kata adik.
Berita sakitnya ayah menimbulkan tanda tanya besar. Seperti apa kondisi ayah? aku bertanya-tanya dalam hati.
Ingatanku kembali ke sebulan lalu, ibu wafat. Waktu itu dikabarkan ke Bandung, tempat tinggal bersama keluarga juga adik bersama keluarga. Aku sekeluarga lengkap dan adik sekeluarga lengkap pulang dan melepas ibu ke pangkuan Ilahi.
Kepergian ibu sungguh membuat sedih ayah. Ayah mondar-mandir di ruang tengah rumah seperti orang linglung. Ayah kemudian bisa bersabar ketika jasad ibu mulai dimandikan. Ayah mengikuti acara jenazah ibu dimandikan, dikafani, disalatkan sampai dikuburkan. Seminggu sejak berpulangnya ibu, ayah kelihatan tidak terlalu bersedih lagi. Ayah juga terlihat sehat. Kami kembali ke Bandung.
“Ayah sudah tidak ada lagi,” kata adik.
Adik menggenggam handphone-nya dengan kencang dan berurai air mata. Aku seperti tidak percaya.
“Ini, Uda Epi … SMS kakak mengabarkan.” kata adik terisak.
Aku terhenyak di kursi ruang tunggu keberangkatan Bandara Soekarno Hatta. Air mataku telah kering, habis luruh sejak kepergian ibu sebulan lalu.
Ayah memang menderita sakit TB dan minum obat Rifampicin. Hatiku galau dengan kondisi ini. Aku tahu bahwa WHO mensinyalir TB masih merebak di Indonesia dan India. Aku sedang memimpin proyek pengembangan obat TB Kombinasi Tetap. Telah berada di tahap uji bioekivalensi. Namun belum selesai. Obat ini adalah obat terkuat diyakini WHO untuk bisa mengobati TB. Rupanya TB penyebab kematian ayah.
Tidak …! Allah telah memanggil ayah pulang ke pangkuan-Nya, teriakku dalam hati.
Dua hari kepergian ayah, kakak bercerita. Ayah sangat bersedih dengan kepergian ibu. Namun ayah telah mengembalikan pada takdir Ilahi. Ayah sering berdoa panjang setelah shalat. Semoga itu adalah doa untuk ibu di alam barzah. Ayah tiba-tiba sakit. Badannya lemah untuk bisa duduk. Sore itu ayah dipangku kakak.
“Ayah mau salat.” bisik ayah.
“Salatlah, Ayah.” kata kakak dengan lembut.
Kakak menyuruh adik mengambil air untuk wudhu. Ayah berwudhu sambil tidur dengan menyeka muka, tangan, rambut, telinga dan kakinya dengan air di telapak tangan.
“Allahu Akbar!” ayah bertakbir.
Tangannya bersedekap. Kemudian matanya terpejam.
“Ayah ….” bisik kakak.
Tak ada respon dari ayah. Tangannya masih bersedekap. Kakak meletakkan telinganya di dada ayah. Tidak terdengar degup jantung. Kakak memegang nadi ayah. Juga tidak berdenyut lagi. Ayah telah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Ayah wafat di pangkuan kakak sedang mendirikan salat. Semoga ayah meninggal dalam husnul khatimah.
Seminggu kemudian aku dan adik kembali ke Bandung. Setiba di Bandara Internasional Minangkabau badanku lunglai. Tidak mampu rasanya aku kembali ke Bandung.
“Ayah telah berada di sisi Allah SWT. Beliau pergi dengan sebaik-baik keadaan. Ikhlaskanlah kepergian beliau. Doa kita anak-anak beliaulah yang bisa menolongnya kini. ” kata kakak menguatkanku.
“Ya, Kak!” kataku sambil menegakkan badan.
“Aku harus kembali melanjutkan kehidupan.” ujarku.
“Iya harus. Lanjutkanlah darma baktimu pada negara, bangsa dan agama. Doakan beliau selalu!” kata kakak dengan mimik bersungguh-sungguh.
Aku memeluk kakak. Itulah tantanganku kini.
Tag: Cerpen