Cerpen Karya: Efrinaldi

Mengaji di rumah nenek menjadi kisah yang menarik. Mengaji ke sana sejak aku berumur lima tahun, bersama kakakku yang lima tahun lebih tua. Jam lima sore aku mandi di baruh Gadiang, dari suatu kolam bersumber air mata air.
Puas mandi dengan melimpahnya air. Biasanya acara mandi itu membutuhkan waktu 30 menit, sejak mulai berangkat ke baruh, mandi dan kembali ke rumah. Kakakku menyalakan lampu petromak dan aku biasanya main-main saja.
Aku dan kakakku makan dan kemudian bersiap-siap pergi ke rumah nenek. Kami hanya membawa kain sarung dan lampu senter dan tidak membawa uang sepeser pun.
Perjalanan ke rumah nenek ditempuh dengan jalan kaki selama 20 menit. Berangkat dari rumah ibuku melewati jalan lurus sejauh 300 meter dan bertemu jalan raya desa. Perjalanan dilanjutkan melewati jalan raya ke arah Timur sejauh 500 meter. Di pasar Selasa, belok kanan masuk ke jalan kampung menuju rumah nenek.sejauh 400 meter. Perjalanan berlanjut, di awalnya terdapat rumah-rumah penduduk. Biasa saja, tidak ada yang istimewa.
Di pertengahan jalan mulailah terjadi keseraman. Kami biasanya tiba di sana hampir magrib. Jalan sepi, tak ada rumah penduduk. Di kesepian ini bertemu tempat pemakaman keluarga nenekku di sisi kanan dan kiri jalan. Aku dan kakakku biasanya akan berjalan sambil berangkulan di bahu. Kakakku selalu menyuruhku membaca Alfatihah sepanjang jalan. Aku sering merinding setiap kali melewatinya.
Tidak beberapa jauh sampailah kami di rumah nenekku. Aku biasanya baru merasa lega setelah berada di halaman rumah nenekku.
Rumah utama nenek berarsitektur rumah gadang Minangkabau, tapi ada bangunan tambahan dari beton berasitektur modern di belakangnya. Kami berwudhuk dan shalat magrib. Rumah nenek diterangi lampu petromak.
Di rumah sambungan itulah kami diajari nenek mengaji. Aku mulai mengaji sejak awal, yaitu dari alif-ba-ta. Kakakku telah bisa membaca Al-Quran. Nenek bergantian mengajari kami. Setelah azan isya berkumandang, kami berhenti mengaji. Kami pun shalat isya.
Setelah shalat isya, lampu petromak dimatikan nenekku. Aku dan kakakku naik ke rumah utama. Pencahayaan hanya lampu togok. Kami tidur di atas ranjang berkelambu. Kakakku akan mengibaskan nyamuk yang mungkin ada dalam kelambu dengan kain sarungnya. Setelah yakin nyamuk tak ada lagi dalam kelambu, kelambu ditutup rapat.
Kami tidur dengan selimut kain belacu. Begitu terbangun di saat waktu subuh, biasanya lubang hidungku hitam karena asap lampu minyak tanah yang terisap selama tidur. Sewaktu berwudhuk, aku akan membersihkan hidungku dengan air.
Kami shalat subuh. Selesai shalat subuh, kami menunggu hari siang. Ketika hari mulai terang, kami kembali ke rumah ibu.@
Tag: Cerpen