Cerpen Karya : Efrinaldi
Ketika aku berusia 47 tahun, aku telah punya rumah dan mobil, dan berpikir memiliki aset sebagai investasi masa depan. Aku membeli rumah kebun yang cukup luas di kampung halaman. Rumah kebun itu dirawat orang sampai aku pensiun di usia 56 tahun.
Kepulanganku ke kampung halaman setelah pensiun berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, untuk kebaikan putraku Faiz yang lebih cocok hidup di pedesaan sejak dia sulit eksis di kota karena menyandang autisme.
Kedua, biaya hidup lebih murah sehingga uang pensiunan bulanan memadai memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Ketiga, suasana pedesaan yang tentram cocok buat pensiunan sepertiku.
Rumah kebun kami berupa rumah di tengah-tengah kebun, mepet ke belakang. Di kanan kirinya ada kolam ikan. Ada sepuluh pohon kelapa, sekitar belasan pohon kakao, beberapa pohon manggis, beberapa pohon pisang, beberapa pohon pinang, beberapa pohon casia vera, beberapa pohon surian, satu pohon pohon durian, satu pohon alpukat, dan satu pohon nangka.
Kami tinggal merawat tanaman itu. Kami cangkul untuk membuang gulma. Sering kami meminta orang mencangkulnya, kalau kalau kewalahan mengerjakan sendiri. Kami memupuk tanaman dengan pupuk organik secara berkala.
Suatu hari kami menanam cabe dan terong. Kami membeli bibitnya di toko pertanian, tidak jauh dari kebun kami. Kami menanam 50 batang cabe dan 20 batang terong. Sayang tanaman itu tidak tumbuh dengan baik, sebab terlindung oleh tanaman tahunan.
Sejak itu, kami tidak menanam palawija lagi, hanya merawat tanaman tahunan. Karena dipupuk, makan tanaman tua menghasilkan buah yang lebat.
Di sela-sela tanaman tahunan tumbuh liar tanaman talas. Daun talas ini kami petik untuk makanan ikan nila dan gurami di kolam. Kolam kami hanya makan dari daun talas itu ditambah dedak padi dari hasil gilingan padi dari sawah kami.
Ketika durian unggul populer ditanam di kampung kami, kami juga menanam tiga pohon durian, sayang dua pohon tertebas oleh tukang bersihkan kebun karena tidak telihat di tengah semak-semak. Satu pohon masih bertahan sampai kini.
Ada yang menarik ketika ke kebun, yaitu dapat menikmati kesejukan alam. Kami suka berfoto di kebun. Faiz suka memotret aku dan tanaman di dalam kebun. Sampai suatu waktu seorang teman berkomentar di FB-ku kalau jepretan Faiz menarik.
Disarankan agar Faiz mengembangkan bakatnya di fotografi. Menurutku ide yang bagus. Namun sampai kini, Faiz hanya memotret dengan kamera HP milikku, belum kubelikan kamera profesional untuk fotografer.
Kalau panen, aku suka membawa hasil panen dengan mobil keluargaku, sebuah minibus. Pernah seorang teman mengomentari kalau sayang memakai mobil bagus buat membawa kelapa. Aku katakan, bahwa mobilku adalah mobil serbaguna, buat sendiri, bersama Faiz, bersama Faiz dan Mul, bersama Faiz, Mul dan ibu mertua, maupun bersama keluarga besar. Baik untuk acara silaturrahmi maupun rekreasi. Mobil itu masih layak buat ke pesta, namun telah dipakai buat keperluan membawa barang ke kebun.
Suatu hari aku menanam pisang bersama Faiz.
“Faiz, coba buat lubang sebesar lingkaran ini, kataku pada Faiz,” kataku pada Faiz.
“Baik, Pa,” kata Faiz.
Faiz memulai membuat lubang berdiameter 80 cm. Kelihatan bahwa Faiz tidak terbiasa bekerja fisik. Terlihat canggung gerakannya. Setelah sekitar sedalam 50 cm, aku melanjutkan menggali lubang hingga sedalam sekitar 80 cm.
“Faiz, ambil abu di unggun. Bawa sekantong plastik ini,” kataku sambil menyodorkan kantong plastik pada Faiz.
Faiz datang membawa abu. Aku suruh Faiz menebarkan ambu ke dalam lubang. Lubang siap untuk ditanami pisang.
Aku pergi ke rumpun pisang. Memilih satu anak pisang yang sebat. Kemudian memisahkan anak pisang itu dari rumpun pisang memakai tembilang.
“Faiz, bawa anak pisang ini ke lubang tadi,” kataku pada Faiz.
“Baik, Pa,” jawab Faiz dengan mulai menggotong anak pisang mendekati lubang.
“Masukkan ke lubangnya, Faiz!” kataku.
“Langsung aja, Pa?” tanya Faiz.
“Oh iya, sebaiknya dipotong dulu akar-akar yang panjang-panjang itu,” kataku.
Aku mengambil parang dan memotong akar-akar pisang yang menonjol.
“Aku memasukkan anak pisang ke lubang. Aku minta Faiz memegang anak pisang agar tetap berdiri. Sementara itu aku mulai menimbun lubang memakai cangkul.
Sebentar saja anak pisang sudah tertanam. Aku memadatkan timbunan tanah di sekitar batang pisang dengan menginjak-injak tanah..
Aha! Selesai!
Kami membersihkan tangan di kaki. Kami pun pulang ke rumah.@
Tag: CerpenEfrinaldi