Minta Fee Sudah Kebiasaan Oknum Pejabat di BPJN XII Ditjen Binamarga PUPR

Kantor BBPJN (Balai Besar Pengelola Jalan Nasional) XII XII Ditjen Binamarga PUPR di Balikpapan. (Foto TribunKaltim)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Minta fee sudah menjadi kebiasaan oknum pejabat di BPJN (Balai Pengelola Jalan Nasional) XII XII Ditjen Binamarga PUPR yang berkantor di Balikpapan ini. Sudah jadi rahasia umum pengelola jalan nasional di Kaltim dan Kaltara ini minta fee ke kontraktor, baik saat mendapatkan proyek maupun saat kontraktor mengajukan tagihan.

Diamankannya  oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK ) 11 orang terkait dengan proyek jalan nasional di Kaltim dari BBPJN dan kontraktor PT Fajar Pasir Lestari dari Tana Grogot, Kamis (23/11/2023) adalah yang ke-2 dalam empat tahun terakhir, setelah sebelumnya kejadian serupa 08 Oktober 2019.

Dari 11 orang yang diamankan, KPK akhirnya menetapkan lima orang sebagai tersangka dugaan korupsi berupa suap dalam proyek pengadaan jalan di Kabupaten Paser, Kaltim. Semuanya langsung ditahan untuk kepentingan penyidikan dengan barang bukti diamankan berupa uang tunai senilai Rp525 juta.

“Untuk kepentingan dan kebutuhan penyidikan, penyidik melakukan penahanan para tersangka untuk 20 hari,” ucap Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers, Sabtu dini hari (25/11) sebagaimana dilaporkan CNNIndonesia.

Kantor PT Fajar Pasir Lestari disegel KPK. (Foto Istimewa)

Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka antara lain Direktur CV Bajasari, Nono Mulyatno: Pemilik PT Fajar Pasir Lestari, Abdul Nanang Ramis; staf PT Fajar Pasir Lestari, Hendra Sugiarto; Kepala Satuan Kerja Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional, Rahmat Fadjar; dan Pejebat Pembuat Komitmen Riado Sinaga.

Nono Mulyanto, Abdul Nanang dan Hendra Sugiarto selaku pihak pemberi dijerat pasal 5ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Rahmat dan Riado dikenakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Menurut Johanis Tanak, kasus ini berawal dari penganggaran pengadaan jalan nasional wilayah I di Provinsi Kalimantan Timur yang bersumber dari APBN. Proyek dimaksud terkait peningkatan Jalan Simpang Batu-Laburan dengan nilai Rp49,7 miliar dan preservasi Jalan Kerang-Lolo-Kuaro dengan nilai Rp 1,1 miliar.

Tiga tersangka dari pihak swasta lalu melakukan pendekatan dengan janji pemberian uang kepada tersangka Riado Sinaga dan Rahmat Fadjar. Keduanya setuju.

Wakil Ketua KPK Johanis Talak menyampaikan perihal penetapan penahanan dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kalimantan Timur sebanyak 5 tersangka di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu, 25 November 2023. TEMPO/Magang/Joseph.

Dalam prosesnya, Rahmat memerintahkan Riado memenangkan perusahaan milik tiga tersangka lainnya. Dilakukan dengan memodifikasi dan memanipulasi beberapa item yang ada di aplikasi e-Katalog LKPP.

Usai memenangkan perusahaan milik tiga tersangka, Rahmat mendapat keuntungan 7 persen, sementara Riado diberi keuntungan 3 persen dari nilai proyek yang disepakati. Pemberian uang dilakukan bertahap. Pada Mei 2023 sebesar Rp 1,4 miliar dan digunakan di antaranya untuk acara Nusantara Sail 2023.

Instansi paling menjengkelkan rakyat

BPJN XII Ditjend Binamarga Kementerian PUPR termasuk instansi paling menjengkelkan rakyat Kaltim, gubernur, dan wakil rakyat Kaltim di DPRD Kaltim, karena sangat lambat memperbaiki jalan nasional bila rusak.

Tapi sebagai instansi vertikal, tak ada yang bisa menegur BPJN XII, semua orang hanya bisa pasrah, meski isu suap menyuap terus bergulir di tengah masyarakat. Pada awal tahun 2023, juga merebak kabar bahwa BPJN XII sengaja tidak memerintahkan kontraktor pemenang lelang pekerjaan di Kutai Barat langsung bekerja dan menoleransi kontraktor itu mencari pihak ketiga mengerjakan proyek yang dimenangkannya.

OTT KPK Kamis malam, dikabarkan tidak berbeda banyak dengan OTT 08 Oktober 2019. Kala itu OTT terkait dengan fee dan pengaturan lelang pekerjaan preservasi, rekonstruksi jalan nasional dari Simpang 3 Lempake (Samarinda)-Simpang 3 Sambera-Santan (Kutai Kartanegara)-Bontang-Dalam Kota Bontang-Sangatta (Kutai Timur) senilai Rp155,5 miliar pola tahun jamak 2018-2019, dikerjakan PT Harlis Tata Tahta (PT HTT).

PT HTT adalah perusahaan yang beralamatkan di Kota Bontang, tepatnya di Jalan Jl. Sultan Syahrir No 2 Tanjung Laut Indah, Bontang Selatan, Kaltim. Direktur Utama PT HTT, Hartoyo semula usahanya bukan pada konstruksi jalan, tapi pengadaan materia beton (redy mix) dan pedagang besar material konstruksi, yaitu pemasok batu dari Palu, Sulawesi Tengah, ditetapkan KPK sebagai tersangka pemberi suap.

Ia disangka menyuap Refly Ruddy Tengkere, Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) XII, dan Andi Tejo Sukmono, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

“Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Atas proyek yang dikerjakannya itu, Hartoyo sudah merealisasikan pembayaran fee kepada RTT dan ATS Rp2,1 miliar. Kesepakatan ketiga tersangka, dari proyek senilai Rp155,5 miliar, Hartoyo memberikan fee 6,5%,” ungkap Ketua KPK, Agus Rahardjo dalam jumpa pers di kantor KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (16/10/2019).

Diterangkan Agus, kedua pejabat BPJN XII tersebut sudah menerima fee dari  Hartoyo sebanyak 8 kali dengan besaran berfariasi antara  Rp 200 sampai Rp 300 juta, atau kalau dijumlahkan  Rp 2,1 miliar.

“Pemberian fee ada yang tunai ada juga melalui transfer bank,” ungkapnya.

Menurut Agus, modus penyerahan fee untuk RTT dan ATS, Hartoyo mentranfer ke rekening bank orang bernama BSA.

“Rekening itu  diduga sengaja dibuat untuk digunakan ATS menerima setoran uang dari Hartoyo. Buku tabungan dan kartu ATM tabungan tersebuta dalam pengusaan  ATS, serta mendaftarkan nomor teleponnya sebagai akun SMS banking,” ujar Agus.

aa
Refly Ruddy Tengkere, Kepala Balai BPJN XII Kaltim-Kaltara di OTT KPK tanggal 08 Oktober 2019. (Foto Intoniswan/Niaga.Asia)

Diungkap pula, rekening atas nama BSA yang dikuasai ATS diduga dibuka tanggal 3 Agustus 2019. Pada  tanggal 28 Agustus 2019 sudah menerima transfer fee sebesar  Rp 1,59 miliar , sedangkan fee yang diterima langsung atau tunai Rp3,25 miliar.

“Fee yang sudah digunakan untuk kepentingan pribadi oleh ATS Rp 630 juta,” kata Agus.

“Setiap PT HTT memberikan uang fee, baik tunai maupun transfer dicatat oleh R, staf keuangan PT HTT dalam laporan perusahaan,” ujar ketua KPK.

Atas perbuatan ketiga tersangka, kata Agus, KPK menetapkan  Refly dan Andi disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Sementara, Hartoyo disangka melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan

Tag: